DEPOK, iNews.id - Praktisi hukum pidana Abdul Chair Ramadhan menilai, pernyataan Habib Bahar bin Smith (HBS) soal persitiwa pembunuhan enam laskar FPI di Jalan Tol Jakarta Cikampek Km 50, atau kasus KM 50, saat HBS berceramah di Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 11 Desember 2021 bukan delik pidana..
Pasalnya, apa yang disampaikan HBS merupakan apa yang sebelumnya telah diketahui umum.
"Pernyataan Habib Bahar Smith tentang pembunuhan yang didahului dengan penyiksaan, sudah menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian, bukan hanya Habib Bahar Smith yang mengatakan hal itu. Masyarakat luas dan di dalamnya para tokoh, juga menyampaikan hal yang sama. Bahkan dalam buku putih Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (TP3) yang berjudul “Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Enam Pengawal HRS”, terdapat penjelasan berbagai kondisi yang dialami para korban," kata Abdul Chair melalui keterangan tertulis, Selasa (4/12/2021).
Selain hal tersebut, kata Chair, ketika keluarga para korban KM50 dan penasehat hukum-nya beraudiensi dengan Komisi III DPR RI, dugaan terjadinya penyiksaan juga telah disampaikan.
"Kesemuanya itu sudah viral terlebih dahulu sebelum Habib Bahar Smith menyampaikan dalam ceramahnya," tegas dia.
Menurut ketua Habib Rizieq Centre ini, berbagai informasi dan data-data yang mendukung adanya sejumlah tanda-tanda penyiksaan pada tubuh beberapa korban KM 50, seharusnya menjadi petunjuk terjadinya penganiayaan berat sebelum tindakan penembakan.
"Adalah suatu hal yang aneh apabila Habib Bahar Smith mengatakan adanya penyiksaan sebab pemberitaan/informasi tersebut, kemudian dirinya dikatakan telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Sementara selama ini tidak pernah ada suatu kondisi kerusuhan atau huru hara terkait dengan pemberitaan yang viral itu," imbuhnya.
Abdul Chair pun mempertanyakan cepatnya polisi menangani laporan terhadap HBS hingga pemilik Ponpes Tajul Alawiyyin itu ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada Senin (3/1/2022) malam.
Ia bahkan menyoroti penerapan salah satu delik terhadap HBS yang dinilai sama dengan yang dikenakan polisi kepada Habib Rizieq Syihab (HRS) dalam perkara tes swab di RS UMMI Kota Bogor pada November 2020, yakni pasal 14 dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Menurut dia, delik yang dikenal dengan “berita bohong” (hoaks) dalam banyak perkara mengandung kepentingan politis ketimbang yuridis, sehingga membuat sebuah kasus cenderung menjadi subjektif dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam rumusan undang-undang.
Ia mencontohkan soal “keonaran di kalangan rakyat” yang dijeratkan kepada Habib Rizieq dalam kasus tes swab di RS Ummi, yang dipahami secara menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang
Keonaran yang dimaksud undang-undang, jelasnya, adalah suatu kondisi fisik seperti huru hara atau kerusuhan di kalangan rakyat. Namun, rumusan itu telah diperluas pengertiannya hingga mencakup kegaduhan di dunia maya (media sosial), sehingga pertentangan pendapat antara pihak yang pro dan kontra terhadap suatu konten berita/informasi yang disampaikan secara virtual (Youtube), dimaknai sebagai kegaduhan yang berpredikat sama dengan keonaran fisik,
Dalam kasus tes swab Habib Rizieq di RS Ummi, jelas dia, pengertian itu dijadikan dalil terpenuhinya unsur “keonaran di kalangan rakyat” sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Padahal, pihak yang pertama kali mempermasalahkan kondisi kesehatan Habib Rizieq Syihab adalah para buzzer.
"Keberadaan buzzer-buzer tersebut patut diduga sengaja dibentuk untuk menimbulkan kegaduhan (pro-kontra) di media sosial, tetapi terhadap mereka tidak dilakukan proses hukum. Apakah hal yang sama akan berlaku terhadap Habib Bahar Smith dalam kaitannya dengan pernyataan tentang peristiwa pembuhunan keji terhadap keenam laskar FPI?" tanyanya.
Ia mengingatkan bahwa dalam hukum pidana berlaku hubungan ‘sebab-akibat’ (kausalitas) guna menentukan sebab yang paling dominan terjadinya akibat, untuk kemudian menjadi dalil terpenuhinya hubungan antara ‘perbuatan’ (actus reus) dan ‘kesalahan’ (mens rea) seseorang guna dapat atau tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Pada perkara Habib Bahar Smith, jelas Abdul Chair, tidak ada kausalitas antara pernyataannya dengan timbulnya akibat berupa terjadinya keonaran fisik di kalangan rakyat.
"Singkatkannya, bahwa pernyataan yang disampaikan (Habib Bahar) tidak terkualifikasi sebagai berita illegal (melawan hukum atau tanpa hak), karena pada dirinya tidak pula ada kehendak untuk mewujudkan timbulnya akibat yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana (in casu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana). Tidak ada penggunaan pikiran secara salah maupun ‘niat jahat’ (dolus malus) yang mengarahkan dirinya secara ‘dengan sengaja’ untuk mewujudkan akibat yang dilarang. Terlebih lagi undang-undang a quo telah dihapuskan dalam Rancangan KUHP Tahun 2019, (sebagaimana) disebutkan dalam pasal 626 ayat (1) huruf a. Penghapusan tersebut menandakan bahwa sudah tidak ada lagi sebab atau sifat yang menjadikannya sebagai norma larangan. Singkat kata, apa yang disampaikan bukan delik," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, saat memberikan keterangan pers, Senin (2/1/2022) malam, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Kombes Pol Arief Rachman, memaparkan kalau HBS dijadikan tersangka berdasarkan laporan seseorang berinisial TNA tentang kegiatan ceramah Habib Bahar pada tanggal 11 Desember 2021 di Margaasih, Kabupaten Bandung.
Tak hanya HBS, pengunggah video ceramah itu ke YouTube yang berinisial TR, juga ditetapkan menjadi tersangka, dan baik HBS maupun TR, kini ditahan. Keduanya dijerat dengan pasal 14 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana jo pasal 55 KUHP dan atau pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana jo pasal 55 KUHP dan atau pasal 28 ayat (2) jo pasal 45a UU ITE jo pasal 55 KUHP.
Kuasa hukum Habib Bahar, Aziz Yanuar, saat dikonfirmasi, Selasa (4/1/2022), membenarkan kalau kliennya dijadikan tersangka karena dalam ceramahnya pada 11 NOvember 2020, Habib Bahar menyinggung soal kasus KM 50.
Dari penelusuran di platform berbagi video YouTube, ditemukan satu video yang terkait hal itu. Video diunggah di akun YouTube Enjang Rahmatilah dengan judul "Terbaru!!! Ceramah Habib Bahar Bin Smith di depan Puluhan Ribu Jama'ah Margaasih, Kabupaten Bandung.
Dalam video itu, Habib bahar awalnya menyinggung tentang pemenjaraan Habib Rizieq Syihab (HRS) karena menyelenggarakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Padahal, kata dia, yang menyelenggarakan acara seperti itu bukan hanya Habib Rizieq.
Ia lalu merangkaikannya dengan kasus KM 50.
"Enam laskar Beliau, enam pengawal setia Beliau dibunuh, dibantai, disiksa, dicopot kukunya, dibantai, dikuliti, kemaluannya dibakar. Mereka dibikin seperti binatang, Saudara-saudara ...,” katanya.
Editor : Rohman