JAKARTA, iNewsDepok.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar bersikap obyektif dalam menangani dugaan gratifikasi Wamenkumham Edward Oemar Sharif Hiariej atau EOSH senilai Rp7 miliar.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mempertanyakan sikap KPK terkait tindakan klarifikasi Eddy Hiariej tentang laporan tersebut. Sebagaimana diketahui, Eddy dengan inisiatifnya sendiri telah menyambangi KPK untuk melakukan klarifikasi atas pelaporan tersebut pada Senin (20/3/2023).
"Bagi kami, forum klarifikasi itu terlihat janggal. Bagaimana tidak, Eddy baru dilaporkan pada 14 Maret 2023. Ini artinya jika mengikuti tanggalan hari kerja, praktis baru tiga hari KPK menerima laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Eddy," jelas Kurnia dalam keterangannya pada Senin (27/3/2023).
Lebih lanjut, kata Kurnia, pihaknya pun mempertanyakan apakah KPK telah mendalami laporan tersebut atau belum. Kurnia menyebut jika seharusnya KPK menelaah laporan di bagian pengaduan masyarakat terlebih dahulu.
"Kemudian menindaklanjutinya dengan melakukan penyelidikan, bukan malah langsung mendengar klarifikasi dari pihak terlapor. Lagi pula apa alasan hukum yang digunakan oleh KPK untuk membenarkan tindakan klarifikasi Eddy dan mendengarkan keterangannya, jika laporannya saja diduga belum didalami?" lanjutnya.
Oleh karena itu, ICW pun mendesak agar KPK dapat bertindak obyektif dalam penanganan perkara ini. Jika setelah didalami ditemukan bukti permulaan yang cukup, kata Kurnia, KPK harus menaikkan status penanganan perkaranya ke tingkat penyelidikan.
"Pada waktu yang bersamaan, sebagai fungsi kontrol, Dewan Pengawas harus benar-benar mencermati secara serius penanganan perkara ini. Hal tersebut penting agar proses hukumnya berjalan tanpa campur tangan pihak manapun," katanya.
Sementara itu, Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengatakan jika munculnya laporan dugaan pemerasan oleh Wamenkumham Edward Oemar Sharif Hiariej terhadap pengusaha tambang Helmut Hermawan telah menunjukkan adanya potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
"Munculnya laporan dugaan pemerasan dalam proses perijinan tambang dan proses layanan publik lainnya, menunjukkan bahwa potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik," kata Najih.
Maladministrasi di antaranya seperti dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, permintaan imbalan, suap hingga penyimpangan prosedur.
"Ini menunjukkan bahwa proses reformasi birokrasi belum berhasil dengan maksimal, penyimpangan masih sangat kuat," kata Najih.
Oleh karena itu, kata Najih pihaknya juga mendesak KPK mengonfirmasi laporan IPW terkait Wamenkumham tersebut.
"Bagaimana tindak lanjutnya terkait bahwa yang dilaporkan itu adalah pejabat publik. Laporan IPW ini diterima atau ditolak, atau msh proses penyelidikan. Jangan malah hanya membiarkan orang yang dilaporkan berpolemik di media. Sebab respon KPK belum jelas sebagai penyelenggara pelayanan di bidang penegakan hukum," ujar Najih.
Sebagai informasi, sebelumnya pakar hukum Fajar Trio menganjurkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menonaktifkan Wamenkumham demi menjaga independensi KPK.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani