"Pasal 28 ayat (3) merupakan pasal baru di UU ITE. Jadi, penangkapan Palti ini merupakan kasus pertama yang terjadi yang dijerat dengan pasal itu. Sayangnya penggunaan pertama kali pasal baru ini justru dilakukan secara salah," kata Henri.
Persoalannya adalah, sambung Henri, apa benar percakapan yang terekam dari aparat di Kabupaten Batu Bara tersebut adalah berita bohong alias faktanya tidak benar. Henri menanyakan kepada polisi, apakah polisi memiliki dua alat bukti permulaan terkait rekaman itu sebagai hoaks atau manipulasi fakta.
"Makanya kasus sensitif seperti ini harusnya ada gelar perkara yg dilakukan secara terbuka dahulu, dan menghadirkan ahli-ahlinya, sehingga tidak terkesan polisi gegabah dalam menangkap orang dengan penerapan pasal secara salah," imbuhnya.
Terlebih pada surat Perintah Penangkapan, polisi juga menggunakan pasal-pasal lain yang sanksi hukumnya di atas lima tahun sehingga bisa menahan tersangka. Tapi pasal-pasal itu juga diterapkan secara salah.
"Termasuk dalam penggunaan pasal 32 UU ITE. Di surat perintah penangkapannya sendiri, penulisan uraian pasal penyebaran pemberitahuan bohong yang dipakai polisi juga salah. Yang tertulis masih bunyi pasal di UU No 1 tahun 1946 yg sudah tidak berlaku karena sudah diperbarui dalam pasal 28 ayat (3) UU no 1 th 2024," tandasnya.
Oleh karena itu, sejumlah massa yang tergabung dalam Gerakan Pro Demokrasi mendesak Bareskrim Polri untuk segera membebaskan Palti Hutabarat.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait