Disusun oleh: Eva Winda Sarma, Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2023
Ringkasan Eksekutif
Perawat sebagai garda terdepan pemberi asuhan langsung kepada individu, kelompok, dan masyarakat memiliki resiko tinggi mendapatkan kekerasan dari penerima asuhan ataupun orang lain yang mendampingi penerima asuhan. Satu dari empat perawat mengalami kekerasan dan sudah terdapat tujuh sampai delapan kejadian kekerasan terhadap perawat di Indonesia dari tahun 2020 sampai 2021 yang dilaporkan.
Kekerasan pada perawat tidak hanya berdampak melukai fisik perawat, tetapi juga mental yang menyebabkan penurunan performa kerja, penurunan kepuasan kerja, peningkatan kejadian error oleh perawat, dan peningkatan turnover perawat yang berdampak negatif bagi pasien, perawat, dan organisasi.
UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 yang baru saja terbit menyatakan bahwa perawat berhak mendapatkan lingkungan kerja yang aman dari perilaku kekerasan, akan tetapi tidak mengatur tentang peningkatan kesadaran perawat dan publik akan kejadian kekerasan terhadap perawat, pencegahan kekerasan terhadap perawat, alur pelaporan dan perlindungan hukum bagi perawat yang mengalami kekerasan, serta hukuman tegas bagi pelaku kekerasan. Oleh karena itu policy brief dibuat bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, pencegahan, dan penegakan hukum dalam mengatasi kekerasan terhadap perawat.
Pendahuluan
Kekerasan terhadap perawat adalah suatu kejadian dimana perawat dilecehkan, diancam, atau diserang dalam kondisi yang berkaitan dengan pekerjaan perawat, termasuk perjalanan ke dan dari tempat kerja, yang melibatkan keamanan, kesejahteraan, dan kesehatan perawat (Kafle et al., 2022). Kekerasan terhadap perawat dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan psikologis (Kafle, et al., 2022). Kekerasan fisik, termasuk menyerang, memukul, meludah, menendang, sampai membunuh. Kekerasan fisik yang paling banyak terjadi adalah mendorong dan memukul . Kekerasan psikologis, termasuk melecehkan secara verbal, merundung, melecehkan secara seksual, melakukan diskriminasi ras, mengintimidasi, meneriaki, serta menyumpahi. Berdasarkan strukturnya, kekerasan dibagi dua menjadi vertikal dan horizontal (Bernardes, et al., 2021). Kekerasan yang dialami oleh perawat tidak terbatas hanya pada fisik saja, tetapi ucapan seperti merendahkan profesi perawat atau menghina penampilan fisik juga termasuk pada kekerasan terhadap perawat dan merupakan jenis kekerasan yang paling sering terjadi.
Kekerasan pada perawat berdampak negatif tidak hanya terhadap perawat, tetapi juga kepada organisasi. Dampak kekerasan dapat berupa konsekuensi emosional dan psikologis, fisik, organisasional, dan profesional (Walker & Avant, 2019 dalam ). Konsekuensi emosional dan psikologis, seperti stres, kelelahan emosi, kurang tidur, depersonalisasi, dan marah dialami oleh perawat yang mengalami kekerasan, khususnya kekerasan jenis psikologis Konsekuensi fisik dapat berupa patah tulang, sakit kepala, memar, luka, atau injuri lainnya yang berhubungan dengan kekerasan fisik. Konsekuensi organisasional seperti penurunan performa dalam memberikan asuhan keperawatan, peningkatan angka ketidakhadiran perawat, dan turnover perawat yang merugikan organisasi . Konsekuensi profesional berhubungan dengan performa perawat untuk berperan secara profesional, seperti penurunan kepuasan kerja, penurunan tingkat produktivitas, penurunan keberhasilan profesional, peningkatan kejadian error oleh perawat.
Satu dari empat perawat mengalami kekerasan, maka perawat lebih rentan terkena kekerasan di tempat kerja dibandingkan dengan petugas lembaga pemasyarakatan atau polisi (Press Ganey Survey Report, 2021 dalam ANA, 2022). Di negara maju, seperti Amerika Serikat, kejadian kekerasan terhadap tenaga kesehatan meningkat sebanyak 110% dari tahun 2005 sampai 2014, dengan kejadian paling banyak terjadi pada perawat . Sebanyak 25% registered nurses di Amerika Serikat melaporkan mengalami kekerasan fisik oleh pasien atau keluarga pasien, sementara 50% registered nurses melaporkan mengalami kekerasan verbal dan perundungan (ANA, 2017 dalam . Kekerasan verbal yang paling banyak terjadi adalah mengutuki, merendahkan, meneriaki, dan mengancam perawat. Di Indonesia sendiri, menurut Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah terdapat tujuh sampai delapan kasus kekerasan perawat di Indonesia sepanjang tahun 2020 sampai 2021 yang dilaporkan.
Angka kejadian kekerasan tersebut merupakan kejadian yang dilaporkan, padahal masih banyak kejadian yang tidak dilaporkan. Kekerasan pada perawat yang dilaporkan hanya 20 sampai 60% (ANA, 2022). Alasan terbesar perawat tidak melaporkan kejadian kekerasan adalah perawat merasa kekerasan tersebut merupakan bagian dari resiko pekerjaan . Hal ini sejalan dengan penelitian Bernardes, et al. (2021) yang menemukan bahwa 57% perawat yang mengalami kekerasan tidak berespon atau berpura-pura bahwa tidak terjadi apa-apa. Rendahnya pelaporan menjadi hambatan dalam mengatasi kejadian kekerasan terhadap perawat.
Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur tentang perlindungan dan bantuan hukum terhadap perawat, yaitu dalam Pasal 273, serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2019 Pasal 35 Ayat 1. Akan tetapi, UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dan PMK No. 26 Tahun 2019 tidak mengatur tentang peningkatan kesadaran akan kejadian kekerasan, pencegahan kejadian kekerasan, serta penegakan hukum. Hal ini menjadi kelemahan dalam kebijakan yang sudah ada. Untuk itu, perlu dilakukan optimalisasi kebijakan maupun dibuat turunan kebijakan supaya kejadian kekerasan terhadap perawat dapat ditiadakan.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta