Muncul pandangan baru tentang kesuksesan yang berakar pada semangat “Siri’ na Pacce” dari Bugis-Makassar, yang mencerminkan martabat dan empati. Banyak yang merasa bahagia bukan karena menerima bantuan, tetapi karena mampu membantu orang lain.
Persentase kelas menengah yang menyisihkan 10 persen dari pendapatan untuk zakat atau donasi meningkat dari 10 persen secara jumlah orang pada 2024 menjadi 15 persen pada 2025, menandakan bahwa memberi tetap menjadi bagian penting dari nilai diri mereka.
Value on Consumption
Kelas menengah tidak lagi belanja semata untuk menunjukkan status mereka.
Belanja kini mempunyai fungsi yang penting dalam bertahan di tengah-tengah ketidakpastian. Belanja yang tepat ditujukan untuk memprioritaskan diri mereka sendiri agar bisa merasa nyaman dan cukup.
90 persen menyebut kualitas yang konsisten sebagai alasan utama loyalitas terhadap Brand, mencerminkan bahwa menghargai kualitas berarti juga menghargai diri sendiri.
Mereka membeli bukan untuk pamer, tetapi untuk mengisi kembali semangat diri. Seorang responden bahkan menyebut motornya sebagai “penyemangat hidup,” simbol keberanian dalam menjalani hari.
70 persen merasa terhubung dengan Brand yang mampu meningkatkan suasana hati mereka, membuktikan bahwa kedekatan emosional kini menjadi faktor utama.
Meski anggaran terbatas, banyak yang tetap menyisihkan sebagian pendapatan untuk kebutuhan “Mental Therapy” seperti hobi, hiburan, atau waktu pribadi. 61 persen mengaku rutin memberi hadiah kecil untuk diri sendiri sebagai cara menjaga ‘kewarasan’ di masa penuh ketidakpastian.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait
