JAKARTA, iNews Depok.id - Digodok kondisi sulit membuat Kelas Menengah (middle class) Indonesia berevolusi. Kini mereka lebih bijak dan tak suka pamer.
Demikian hasil studi bertajuk Sei-katsu-sha Lab 2025: Navigating the In Between – Living as Indonesian Middle Class. Studi dilakukan Hakuhodo International Indonesia.
Hasil studi dipaparkan Devi Attamimi (Group CEO Hakuhodo International Indonesia) dan Rian Prabana (Senior Director of Strategy Hakuhodo International Indonesia & Head of Sei-katsu-sha Lab).
Mengawali penjelasannya, Hakuhodo mengutip data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024. Jumlah kelas menengah di Indonesia menyusut hingga 10 juta orang dari 57,3 juta menjadi 47,85 juta orang.
Kelas Menengah dan Kelas Menuju Menengah mencakup 66,35 persen dari total populasi dan berkontribusi terhadap 81,49 persen konsumsi domestik Indonesia.
"Kelas menengah sedang berada di pusaran perubahan, mereka membawa mimpi yang mendorong Indonesia untuk maju sekaligus menanggung tekanan yang terbentuk oleh zaman," kata Devi Attamimi, Group CEO Hakuhodo International Indonesia dalam keterangan tertulis seperti dikutip iNews Depok, Jumat (7/11/2025).
"Skala mereka yang besar, dapat menggambarkan bukan hanya kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia saat ini, tapi juga kondisi dan harapannya di masa depan," imbuh Devi.
Dengan kondisi tersebut Devi menyebut temuan Hakuhodo Internasional Indonesia menjadi penting untuk pelaku industri pemasaran (marketers). Mereka bisa memahami tidak hanya indikasi apa yang terjadi, tapi juga paham perspektif untuk melakukan pendekatan yang tepat.
“ Di Sei-katsu-sha Lab kami mempelajari manusia bukan sebagai tren, melainkan sebagai kisah hidup yang terus berkembang. Dan bagi para pelaku industri pemasaran, peran kita adalah mendengarkan, memahami, dan membangun hubungan,” terang Devi Attamimi.
Rian Prabana, Senior Director of Strategy Hakuhodo International Indonesia & Head of Sei-katsu-sha Lab, menuturkan hasil studi memberikan warna dan perspektif baru tentang Kelas Menengah.
"Mereka tidak lagi sekadar mencari aspirasi, tetapi mencari keseimbangan," kata Rian.
Hasil temuan menjadikan marketers bisa memahami perubahan sisi emosional yang sering tidak tergambarkan oleh angka statistik.
"Dengan membawa pandangan baru ini, Marketers dapat membangun hubungan yang lebih relevan dan memberikan peran penting dalam pertumbuhan mereka," ceplos Rian Prabana.
Value on Life
Pandangan Kelas Menengah terhadap kehidupan kini menjadi realistis, dari sebelumnya penuh mimpi.
Dulu, kelas menengah adalah segmen yang selalu berlomba-lomba naik tangga sosial-ekonomi, kini mereka lebih berpijak pada kenyataan.
Mimpi untuk maju tetap ada, tetapi kini diimbangi dengan ketidakpastian hidup dan sikap yang lebih realistis.
89 persen responden mengatakan mereka tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan, yang menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi terhadap tantangan hidup.
Mereka menemukan makna di balik ketidaksempurnaan. Bagi banyak orang, pengalaman sulit menjadi titik balik pribadi, sesuatu yang mereka sebut “My Scar, My Strength.”
Prioritas diri kini bergeser dari “Look Good” menjadi “Feel Good.” Mereka tidak lagi mengejar validasi, melainkan ketenangan dan keseimbangan dalam hidup.
Sistem dukungan dari sekitar juga berubah. 72 persen responden menyebut memiliki jaringan sosial yang kuat, menunjukkan bahwa komunitas kini bisa juga berperan sebagai penopang stabilitas hidup, yang sebelumnya, role ini biasanya hanya datang dari keluarga. Ini menjadi bentuk baru dari “Social Insurance.”
Value on Success
Hasil survei menyimpulkan pandangan Kelas Menengah. Kesuksesan tidak lagi diukur dari kekayaan ataupun kesuksesan finansial semata, tetapi mengutamakan kemampuan diri untuk bisa bertahan dan berkembang, serta mampu menjaga martabat dan rasa percaya diri mereka dalam menghadapi situasi yang sulit dan tidak menentu.
57 persen berencana memulai usaha sendiri, 42 persen ingin memberi dampak positif bagi sekitarnya, dan 38 persen berfokus meningkatkan pendidikan atau keterampilan.
Responden muda menunjukkan kedisiplinan finansial yang lebih baik dengan rutin membuat anggaran atau rencana keuangan setiap bulan.
Muncul pandangan baru tentang kesuksesan yang berakar pada semangat “Siri’ na Pacce” dari Bugis-Makassar, yang mencerminkan martabat dan empati. Banyak yang merasa bahagia bukan karena menerima bantuan, tetapi karena mampu membantu orang lain.
Persentase kelas menengah yang menyisihkan 10 persen dari pendapatan untuk zakat atau donasi meningkat dari 10 persen secara jumlah orang pada 2024 menjadi 15 persen pada 2025, menandakan bahwa memberi tetap menjadi bagian penting dari nilai diri mereka.
Value on Consumption
Kelas menengah tidak lagi belanja semata untuk menunjukkan status mereka.
Belanja kini mempunyai fungsi yang penting dalam bertahan di tengah-tengah ketidakpastian. Belanja yang tepat ditujukan untuk memprioritaskan diri mereka sendiri agar bisa merasa nyaman dan cukup.
90 persen menyebut kualitas yang konsisten sebagai alasan utama loyalitas terhadap Brand, mencerminkan bahwa menghargai kualitas berarti juga menghargai diri sendiri.
Mereka membeli bukan untuk pamer, tetapi untuk mengisi kembali semangat diri. Seorang responden bahkan menyebut motornya sebagai “penyemangat hidup,” simbol keberanian dalam menjalani hari.
70 persen merasa terhubung dengan Brand yang mampu meningkatkan suasana hati mereka, membuktikan bahwa kedekatan emosional kini menjadi faktor utama.
Meski anggaran terbatas, banyak yang tetap menyisihkan sebagian pendapatan untuk kebutuhan “Mental Therapy” seperti hobi, hiburan, atau waktu pribadi. 61 persen mengaku rutin memberi hadiah kecil untuk diri sendiri sebagai cara menjaga ‘kewarasan’ di masa penuh ketidakpastian.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait
