"Dalam khazanah budaya Jawa dikenal istilah wirang. Ini bukan hanya sekadar malu, namun efeknya lebih dari malu. Biasanya anak-anak yang nakal itu, akan dibuat wirang. Wirang itu jadi sanksi sosial yang justru upaya terakhir dalam penegakan aturan masyarakat, agar pelaku tidak mengulangi tindakan yang melanggar kepantasan dan kepatutan. Obat terakhir agar anak-anak tidak mengulangi tindakan nakal," terangnya.
Menurut Henry yang memiliki gelar Kanjeng Pangeran Aryo dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjelaskan, jika seseorang sudah merasa wirang, ia akan merasa diawasi banyak orang. Saat itulah diharapkan kemudian bisa berubah.
Namun berkaca dari kasus KM yang dituduh suka mencuri, maka perlakuan atau tindakan yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologisnya.
"Mungkin saja ia mengidap kleptomania. Atau lihat juga pergaulan dan latar belakang keluarganya. Bisa jadi ada masalah yang belum terungkap. Maka kewajiban penyidik pun yang mengungkapkannya," jelas Anggota Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
Menurut Henry, anak-anak yang bermasalah dengan hukum sebenarnya layak dikasihani. Jika memang ia berbuat seperti yang diceritakan dan diyakini mayoritas masyarakat.
"Jangankan anak, orang dewasa sekalipun tetap tidak boleh dianiaya, diadili secara barbar. Seorang maling ayam yang tertangkap basah sekalipun tak boleh dianiaya dan dihakimi tanpa ada aturan," tegasnya.
Disebutkan pula bahwa pelaku penganiayaan terhadap KM memiliki profesi dan status sosial yang baik di masyarakat. Mulai dari Ketua RT, guru, dan lainnya.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait