Kasus-kasus seperti yang dilaporkan KontraS dinilai sebagai bentuk tindakan extra judicial killing yang merupakan pembunuhan di luar hukum atau putusan pengadilan, dan dilakukan oleh aparat negara.
Extra judicial killing itu bisa dilakukan dalam bentuk penembakan jarak jauh, penembakan jarak dekat, misil, yang dengan sengaja, terencana, dan terstruktur oleh negara atau perantara mereka yang bertindak di bawah kekuasaannya sebagai penyelenggara negara.
Dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, extra judicial killing merupakan pelanggaran HAM berat sama seperti penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Tindakan ini juga dilarang keras oleh ketentuan HAM internasional dan peraturan perundang-undangan nasional karena merampas hak hidup-yang menjadi hak asasi paling utama manusia. Larangan pun dimuat dalam International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi atau disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005.
"Kami mendorong adanya reformasi penegakan hukum bagi aparat yang melakukan penyalahgunaan wewenang penggunaan senpi. Harus ada perbaikan karena nyawa warga negara yang jadi korban,” tukas Martin.
Lebih lanjut, Martin juga meminta penegakan hukum di kepolisian atas pelanggaran hukum atau kasus-kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang anggota Polri diproses dengan tegas tanpa menunggu viral.
"Sorotan publik dalam hal ini harus menjadi momentum untuk mendorong perbaikan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum di kepolisian, serta meningkatkan integritas dan profesionalisme aparat," pesannya.
Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat angka yang lebih tinggi terkait tindakan extra judicial killing. Menurut data YLBHI, ada 281 kasus dengan jumlah korban jiwa mencapai 305 orang selama 2018-2020 akibat penggunaan senjata api aparat.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait