Pakar Hukum Pidana Soroti Kasus Helmut Hermawan, Tidak Boleh Ada Kriminalisasi

Kartika
Pakar hukum pidana Prof Dr Suparji Ahmad. Foto: Website Universitas Al-Azhar Indonesia

JAKARTA, iNewsDepok.id - Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Dr Suparji Ahmad mengatakan tidak setuju adanya kriminalisasi dalam kasus Helmut Hermawan. Menurutnya, dugaan kriminalisasi yang dialami Helmut Hermawan dalam sengketa kepemilikan tambang PT CLM harus diuji dengan penegakan hukum.

Penegakan hukum tersebut dilakukan dengan cara merekonstruksi fakta dan bukti dikaitkan dengan unsur tindak pidananya. Jadi bicara tentang fakta tentang alat bukti, kata Suparji, bicara tentang unsur yang tidak boleh subyektif harus dikonfrontir dengan unsur tindak pidana.

“Semuanya harus bersifat materiil dalam konteks pidana adalah kebenaran materiil tidak boleh bersifat asumtif tidak boleh bersifat imajinatif, tidak boleh bersifat halusinasi apalagi kemudian ilusi," ujar Suparji di Jakarta, Senin (6/3/2023).

Sementara menyoal tentang tidak sahnya sebuah penetapan tersangka, Suparji mengatakan maka hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh.

"Hukum tidak boleh terdistorsi oleh siapapun, hukum itu tegak berdiri. Bahkan langit runtuh pun, dunia binasa pun, hukum tidak boleh berhenti, ini menunjukkan bahwa mekanisme hukum harus ditegakkan tidak boleh ada pengecualian," katanya.

Oleh karena itu, Suparji menegaskan dia tidak menyetujui adanya kriminalisasi yang diduga dilakukan oknum penyidik kepolisian.

Lebih lanjut, menurut Suparji, kriminalisasi tidak boleh terjadi pada siapapun dan kriminalisasi tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Untuk menguji dugaan kriminalisasi juga kembali kepada mekanisme hukum dan prosedur yang ada.

“Kalau memang perkara perdata selesaikan melalui mekanisme perdata, dan kemudian kalau ada unsur pidananya ada mekanisme pidananya," ujarnya.

M. Fatahillah Akbar, SH,LL.M, Dosen Hukum Pidana Universitas Gajah Mada Yogyakarta menambahkan, kemunculan dugaan kriminalisasi yang dialami Helmut Hermawan menjadi bukti masih adanya tumpang tindih antara sanksi pidana dan administrasi yang dikenal dengan Una Via Principle yang merupakan pengembangan dari dari ne bis in idem. 

"Di mana seharusnya tidak ada sanksi administrasi atau pidana dilakukan secara bersama-sama, harus ada batasannya, apakah ini dikenakan sanksi pidana atau administratif," ujarnya.

Lebih lanjut, Akbar pun menanyakan apakah sudah ada sanksi dari pemerintah mengenai pelaporan tersebut. Pasalnya, dalam kontek UU Pertambangan masuknya Administrative Penal Law jadi diselesaikan dengan cara Primum Remedium.

Mengenai batasan mengenai sanksi administratif, Akbar mengungkapkan sebenarnya pasal 151 UU Pertambangan sudah mengatakan kalau ada pelaporan yang tidak benar dalam pasal 110 UU Pertambangan dapat dikenakan sanksi administrasi.  

Hal ini, ungkap Akbar, diperkuat dengan PP 96 tahun 2001 mengatur pengenaan sanksi administrasi.

Selanjutnya, diperkuat dalam peraturan Kapolri tentang penyidikan pidana, bahwa untuk naik sidik penyelidikan itu harus gelar perkara dulu. Setelah itu mereka melakukan penyidikan, mengumpulkan bukti dan untuk menetapkan tersangka juga harus ada gelar kembali.   

"Perkap ini sejalan dengan keputusan MK tadi dengan peraturan Mahkamah Agung tentang penetapan tersangka harus ada prosedur sehingga perlu dilihat apakah penetapan tersangka itu tersebut sudah sesuai prosedur apa tidak itu merupakan kewenangan hak tersangka," pungkasnya.

Editor : Kartika Indah Kusumawardhani

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network