Keharmonisan, saling menghargai dan rasa nyaman berdampingan tanpa ada rasanya terganggu atas aktivitas keagamaan umat muslim dan Nasrani pun dibenarkan oleh humas Gereja Katedral Jakarta pada tahun 2018 silam. Susyana Suwadie selaku humas menyampaikan rasa nyaman berdampingan dalam menjalankan aktivitas keagamaan tanpa ada rasa terganggu. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap saling membantu dalam menjalankan aktivitas keagamaan.
Contohnya, pihak Gereja menyediakan lahan parkir untuk menampung kendaraan umat muslim yang melaksanakan salat Ied di Masjid Istiqlal. Sebaliknya, Masjid Istiqlal juga menyediakan halaman parkir bagi para jemaat yang akan menjalankan misa natal di Gereja Katedral.
Wujud toleransi yang telah menjadi budaya juga tampak saat unjuk rasa besar 212 berlangsung di pusat ibu kota. Misalnya, para demonstran yang sedang berjaga di area Masjid Istiqlal membantu membuka jalan bagi sepasang pengantin yang akan melangsungkan pernikahan di Gereja Katedral, secara bersama-sama, para demonstran yang mayoritas adalah umat muslim mengawal pasangan pengantin non muslim tersebut hingga keduanya aman masuk ke dalam gereja.
Rasa toleransi di Indonesia juga saya rasakan sendiri saat saya mendapat pengalaman bertugas di Nusa Tenggara Timur tepatnya di pulau Sumba.
Pada hari Jumat, umat muslim yang minoritas di pulau tersebut melaksanakan kegiatan sholat Jum'at, maka yang membantu mengatur arus lalu lintas dan parkiran kendaraan di seputar masjid adalah pemuda-pemudi dari non muslim. Sebaliknya, pada hari Minggu, waktu kegiatan agama Nasrani yang membantu mengatur arus lalu lintas dan parkiran kendaraan di seputar Gereja adalah pemuda-pemudi Muslim.
Banyak testimoni dari rekan saya non muslim yang menyampaikan tidak pernah merasa terganggu dengan kegiatan keagamaan dari pihak muslim. Bahkan rekan saya menyampaikan apabila suara adzan tidak terdengar, seperti terasa ada yang hilang, karena dengan adanya suara adzan menurutnya sangat membantu mengingatkan waktu.
Editor : M Mahfud