PURWOREJO, iNews.id - Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo menghebohkan publik nasional akhir-akhir ini. Itu karena muncul suara penolakan sebagaian masyarakat Desa Wadas terkait keinginan pemerintah untuk menambang batu andesit.
Batu andesit Desa Wadas menjadi vital karena akan digunakan sebagai material utama pondasi
Bendungan Bener, bendungan tertinggi di Asia Tenggara dengan kedalaman 159 meter. Pembangunan bendungan ini ditargetkan selesai pada tahun 2023.
Namun pembangunan terancam molor jika material pokok untuk pondasi bendungan yaitu batu andesit tidak bisa didapatkan dari Desa Wadas. Sebagian masyarakat Wadas terbelah sikapnya. Pro kontra memanaskan situasi Desa Wadas dalam beberapa tahun terakhir.
Pro kontra mencuat ke tingkat nasional pada 8 Februari 2022. Saat itu kepolisian menerjunkan ratusan personel dan sempat menahan 64 orang dari Desa Wadas meski kemudian dibebaskan pada 9 Februari 2022. Kala itu personel kepolisian mengawal pengukuran lahan milik masyarakat yang setuju penambangan batu andesit.
Pihak kontra penambangan andesit Desa Wadas tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa).
Untuk mengupas penolakan Gempa Dewa terhadap penambangan batu andesit, wawancara dilakukan terhadap salah seorang tokoh utamanya yaitu Gus Pipik. Tokoh muda Desa Wadas ini belum bersedia disebutkan namanya secara jelas.
Wawancara dilakukan di halaman Masjid Nurul Huda yang merupakan masjid terbesar di Desa Wadas, Selasa sore (15/2/2022).
Gus Pipik sendiri baru pertama kali melakukan wawancara dengan wartawan pascaperistiwa 8 Februari lalu. Sebagai tokoh muda NU, Gus Pipik memiliki karakter khas NU dengan pembawaan sopan. Tutur katanya halus, tertata, dan diplomatis.
Berikut wawancara dengan Gus Pipik.
Gus, apa sebenarnya yang terjadi dengan penolakan sebagaian warga Wadas terkait penambangan batu andesit. Apakah tidak ada jalan keluar lewat musyarawah?
Tidak betul jika dikatakan warga Wadas tidak mau diajak musyarakah. Sejak tahun 2016 dalam musyawarah kita menanyakan dampak lingkungan dan sosial dari penambangan.
Kami shock kala itu, ketika disebutkan bahwa lahan penambangan batu andesit di desa kami akan dibebaskan. Kami lalu meminta apakah masalah pembebasan lahan bisa dirembug. Jawaban yang kami terima adalah tidak.
Kami jelas shock kenapa lahan harus dibebaskan. Desa Wadas ini bukan lokasi Bendungan Bener. Bendungan Bener itu lokasinya jauh dari sini, sekitar 12,5 km.
Karena jawaban seperti itu, warga lalu bersikap ya tidak usah saja. Tolak penambangan batu andesit. Lalu terbentuklah Gempa Dewa pada awal tahun 2018.
Bisa diceritakan proses sosialisasi rencana penambangan batu Andesit di Desa Wadas?
Pada awalnya kami mendengar bahwa penambangan hanya akan terjadi di lahan seluas 4 hektare. Kita menerima kalau hanya 4 haktare. Ya nggak apalah kalau hanya 4 hektare.
Tetapi yang terjadi adalah kok patok ada di mana-mana, kenapa tidak kulo nuwun terlebih dulu. Kultur di Jawa ini kan kulo nuwun dulu. Ini tanah hak milik warga.
Warga kemudian mengadu ke BPD. Para sesepuh menceritakan tentang sejarah, mitos dan cerita rakyat bahayanya jika lahan di Wadas mengalami kerusakan.
Kami juga menanyakan pada Pemerintah Desa Wadas. Namun mereka menjawab bahwa mereka tak tahu apa-apa. Padahal warga tahu, kepala desa ikut sosialisasi dan kami menunggunya hingga 2 bulan, tetapi tak ada sosialisasi rencana penambangan batu andesit.
Selanjutnya seperti apa Gus?
Karena tidak mendapat sosialisasi, anak-anak muda Desa Wadas mengambil paksa buku Amdal. Kita kaget ternyata lahan yang dibebaskan bukan 4 hektare tetapi 150 hektare.
Dalam buku Amdal juga disebutkan ada alternatif. Jika warga Wadas menolak, pihak Balai Besar Wilayah Sungai Opak akan mencari alternatif lain.
Mengenai Amdalnya sendiri bagaimana Gus?
Harusnya Amdal bendungan dengan Amdal penambangan batu andesit itu beda. Bukan satu Amdal.
Dampak yang terjadi di lokasi Bendungan Bener itu beda dengan dampak penambangan di Wadas. Jaraknya 12,5 Km kok.
Jadi ada masalah prosedur?
Ya ada masalah di prosedur.
Juga harusnya appraisal dulu baru persetujuan. Bukan sebaliknya.
Maksudnya?
Harusnya dinilai terlebih dulu kandungan yang terdapat dalam tanah. Apakah nilai kandungan yang terdapat di bawah tanah tidak ada harganya. Jadi penilaian dulu baru persetujuan.
Ini kan bentangan Manoreh, penuh dengan kekayaan Sumber Daya Alam.
Jadi warga melihat ada sesuatu yang lebih berharga, bukan hanya batu andesit saja?
Kalau dari informasi yang kita terima, batu andesit yang dibutuhkan adalah 8,5 juta meter kubik. Kalau hanya 8,5 juga meter kubik kenapa harus dibebaskan 145 hektare. Sebenarnya mau diapakan batu andesit sisanya, itu jauh lebih banyak. Dan jika nanti diperluas lagi, bisa habis lama-lama Desa Wadas, itu yang kami khawatirkan.
Editor : M Mahfud