WADAS, iNews.id - Tindakan kepolisian yang menyerbu Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada 8 Februari 2022 lalu mengimbas pada industri perajin gula aren di desa tersebut.
Pasalnya, serbuan itu membuat para perajin gula aren di Desa Wadas kehilangan mata pencaharian, karena pohon-pohon aren mereka tak bisa lagi disadap.
"Trauma yang dialami warga pasca kekerasan 8 Februari lalu juga berimbas pada mata pencaharian warga. Di antaranya para perajin gula aren," kata akun @Wadas_Melawan, Jumat (4/3/2022).
Akun ini menjelaskan, akibat serbuan itu, para perajin gula aren takut keluar rumah, sehingga nira atau nektar pohon aren yang merupakan bahan baku pembuatan gula aren, menggumpal dan tersumbat, sehingga tak bisa disadap lagi.
"Padahal biasanya setiap warga bisa menghasilkan 5-10 kg gula aren per hari dengan harga Rp17-20 ribu/kg. Akan tetapi semuanya berubah setelah tanggal 8 Februari lalu. Banyak warga yang kemudian tidak memiliki pemasukan," imbuh akun itu.
Dalam video yang disertakan dalam cuitan itu, warga Desa Wadas yang berprofesi sebagai perajin gula aren, mengakui kalau setelah peristiwa tanggal 8 Februari 2022 itu, dia sebenarnya ingin menyadap nira, tapi keadaan masih mencekam.
"Hari Jumat saya cek lagi, nira-nya sudah nggak keluar," keluhnya.
Ia mengatakan bahwa kalau nira sudah macet, tak bisa disadap lagi.
"Macetnya itu ya karena itu, nggak berani nengok (pohon aren) karena terganggu adanya patroli polisi. Jadinya, mau ke hutan juga takut," kata perajin gula aren yang lain.
Perajin gula aren itu mengeluh karena dirinya masih memiliki tanggungan karena anak-anaknya masih ada yang bersekolah dan ada yang masih berusia 4 tahun, sehingga masih membutuhkan banyak biaya.
Seperti diketahui, pada 8 Februari 2022 lalu kepolisian mengerahkan ribuan aparatnya ke Desa Wadas, karena warga desa itu menolak desanya dijadikan area penambangan batu andesit.
Dalam pengerahan itu, polisi bukan saja mengawal petugas Badan Pertanahan yang melakukan pengukuran lahan yang akan dijadikan lokasi penambangan, namun juga melakukan upaya-upaya untuk menekan warga agar menyetujui penambangan tersebut dengan cara, antara lain, mencopoti banner penolakan warga terhadap penambangan itu, menangkapi dan menahan warga yang menolak penambangan, mengintimidasi mereka, dan bahkan melakukan tindakan kekerasan, sehingga banyak warga yang ketakutan dan tak berani keluar rumah atau lari ke hutan.
Runyamnya, peristiwa ini tak hanya terjadi pada 8 Februari, karena meski menuai kecaman, polisi tidak langsung menarik personelnya dari Desa Wadas. Mereka tetap di sana selama beberapa hari, dan bahkan melakukan patroli dengan berkeliling desa.
Pihak yang mengecam tindakan polisi itu di antaranya PP Muhammadiyah dan Komnas HAM, dan penyerbuan itu menjadi perhatian nasional.
Pangkal dari kejadian ini adalah Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang diterbitkan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang menjadi dasar penambangan batu andesit di Desa Wadas. IPL itu kemudian diketahui bermasalah karena melanggar UU 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum.
Sebab, pertambangan batuan andesit sebagaimana yang akan dilakukan di Desa Wadas tidak termasuk pembangunan untuk kepentingan umum.
Hingga kini warga Desa Wadas masih kukuh menolak penambangan tersebut, sementara di sisi lain Ganjar juga belum mencabut IPL tersebut meski telah didesak berbagai kalangan agar IPL itu dicabut.
Editor : Rohman