Artinya jika saja saat itu Anwar Usman mundur dari persidangan perkara No.90/PUU-XXI/2023, maka kata Petrus, MK tidak mungkin menghadapi skandal politik yang mengguncang kancah perpolitikan yang berkepanjangan hingga saat ini, karena Hakim MK bisa bersidang dengan 7 atau 8 Hakim Konstitusi, agar Hakim MK terbebas dari ancaman pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No.48 Tahun 2009.
Oleh karena itu Pertimbangan Hukum yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 17 ayat 6 dan 7 UU No.48 Tahun 2009, tidak dapat diterapkan pada Hakim Konstitusi, atas alasan tidak adanya Majelis Hakim Pengganti.
“Sementara ketentuan UU MK sendiri membuka pintu jalan keluar dengan persidangan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 Hakim, jelas merupakan argumentasi yang bertujuan membodohi publik,” jelas Petrus.
Begitu pula dengan pernyataan Hakim Konstitusi dalam Putusan No.141/PUU-XXI/2023, bahwa ketentuan pasal 17 ayat (6) UU No.48 Tahun 2009 tidak berlaku bagi Hakim Konstitusi terutama sanksi putusan tidak sah, sanksi administratif dan sanksi pidana.
“Pertanyaannya mengapa Hakim Anwar Usman dijatuhi sanksi administratif, jawabannya karena Anwar Usman melanggar larangan pasal 17 ayat (5) UU No.48 tahun 2009 jo. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,” lanjut Petrus.
Dengan demikian meniadakan berlakunya ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No.48 Tahum 2009 pada Hakim Konstitusi, hal itu harus dengan UU bukan dengan tafsir UU oleh MK. Ketentuan pasal 73 UU HAM bahwa Hak dan Kebebasan yang diatur dalam UU hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU.
“Karena itu tidak diterapkan ketentuan pasal.17 ayat 6 UU No.48 Tahun 2009 pada Hakim Komstitusi tidak boleh berdasarkan tafsir Hakim melainkan hanya boleh dengan UU,” pungkas Petrus.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani