get app
inews
Aa Text
Read Next : Dukung Putusan MK Terkait Pilkada, Praktisi Hukum Henry Indraguna: Hanya Perlu Dibenahi

TPDI dan Perekat Nusantara: Putusan MK Tentang Syarat Usia Capres Cawapres Memperburuk Marwah MK

Sabtu, 02 Desember 2023 | 17:38 WIB
header img
Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 141/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres dan cawapres dinilai telah memperburuk marwah MK. Foto: Dok iNews.id

JAKARTA, iNewsDepok.id - Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 141/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres dan cawapres dinilai telah memperburuk marwah MK. Pasalnya, putusan tersebut dianggap sebagai perpanjangan tangan Istana karena memperkuat putusan MK No. 90/PPU-XXI/2023/

Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara Petrus Selestinus mengungkapkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, tentang Uji Materiil pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Hakim-Hakim Konstitusi belum juga move on. Mereka masih terbawa suasana traumatik soal "conflict of interest" Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang menggiring Anwar Usman kehilangan kursi Ketua MK.

Bahkan, kata Petrus, Hakim Konstitusi yang progresif sekelas Saldi Isra dan Suhartoyo pun nampak kehilangan taring, karena dalam Pertimbangan Hukum Putusan 141/PUU-XXI/2023, tidak nampak pandangan yang progresif sebagaimana dapat dibaca dalam putusan Perkara No.90/ PUU-XXI/ 2023, tgl. 16/10/2023.

“Nuansa di mana Hakim-Hakim Konstitusi kompak satu suara ingin mengamankan kekuatan final dan mengikat Putusan Perkara No.90/PUU-XXI/2023, sangat kental sehingga beberapa pertimbangan hukum dalam Putusan MK No.141/PUU-XXI/2023, tgl 23/11/2023, menyatakan tidak berlaku ketentuan pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU No.48 Tahun 2009, merupakan dalil yang kontraproduktif yang melampaui batas wewenang Hakim,” jelas Petrus dalam keterangannya, Sabtu (2/12/2023).

Bagi Hakim Konstitusi yang adalah negarawan, pertimbangan hukum yang menegasikan berlakunya ketentuan pasal 17 ayat (6) dan ayat (7), UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, jelas merupakan upaya pragmatis memenuhi hasrat politik kekuasaan dengan mengenyampingkan asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, yang berlaku bagi semua hakim tanpa kecuali.

Petrus mengungkapkan, di sini Hakim MK sudah keluar dari prinsip kebebasan Hakim bahkan bertindak sewenang-wenang karena menyatakan ketentuan pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi Hakim Konstitusi, hanya demi mengamankan Putusan Perkara No.90/PUU-XXI/2023, tgl 16/10/2023.

Artinya Hakim Konstitusi bisa sewenang-wenang mengeluarkan Pertimbangan Hukum, sebagaimana dapat dibaca dalam  putusan MK No. 141/PUU-XXI/ 2023, tanggal 23/11/ 2023, yaitu memberikan imunitas semu bagi Hakim Konstitusi untuk tidak dipidana manakala terbukti melakukan tindak pidana terkait dengan perkara yang sedang dia adili termasuk jika berada dalam lingkaran conflict of interest.

“Hal lain yang aneh adalah Pertimbangan Hukum Putusan No. 141/PUU-XXI/2023, bahwa MK tidak mungkin menerapkan pasal 17 ayat (7) UU No.48 Tahun 2009, karena ketentuan pasal 45 ayat (4) dan pasal 66 ayat (3) PMK No. 2 tahun 2021, yang mewajibkan Majelis Hakim bersidang dengan komposisi 9 atau sekurang-kurangnya 7 Hakim Konstitusi,” lanjut Petrus.

Petrus menuturkan, pandangan bahwa Hakim MK bersidang dengan sekurang-kurangnya 7 Hakim, sebetulnya MK telah mengantisipasi kemungkinan ada Hakim Konstitusi yang harus mundur dari perkara yang sedang disidangkan manakala ia berkepentingan atau memiliki conflict of interest.

“Sehingga cukup dengan mengundurkan diri dari persidangan, maka persidangan bisa dilakukan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 orang Hakim Konstitusi,” ujarnya.

Menurut Petrus, Peraturan MK No.2 Tahun 2021 harus dipandang sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan Hakim MK, sewaktu-waktu berada dalam posisi memiliki conflict of interest sebagaimana dialami Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam Perkara No.90/PUU-XXI/2023, maka cukup dengan Anwar Usman mundur dari persidangan maka skandal Nepotisme itu tidak akan terjadi. 

Artinya jika saja saat itu Anwar Usman mundur dari persidangan perkara No.90/PUU-XXI/2023, maka kata Petrus, MK tidak mungkin menghadapi skandal politik yang mengguncang kancah perpolitikan yang berkepanjangan hingga saat ini, karena Hakim MK bisa bersidang dengan 7 atau 8 Hakim Konstitusi, agar Hakim MK terbebas dari ancaman pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No.48 Tahun 2009.

Oleh karena itu Pertimbangan Hukum yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 17 ayat 6 dan 7 UU No.48 Tahun 2009, tidak dapat diterapkan pada Hakim Konstitusi, atas alasan tidak adanya Majelis Hakim Pengganti.

“Sementara ketentuan UU MK sendiri membuka pintu jalan keluar dengan persidangan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 Hakim, jelas merupakan argumentasi yang bertujuan membodohi publik,” jelas Petrus.

Begitu pula dengan pernyataan Hakim Konstitusi dalam Putusan No.141/PUU-XXI/2023, bahwa ketentuan pasal 17 ayat (6) UU No.48 Tahun 2009 tidak berlaku bagi Hakim Konstitusi terutama sanksi putusan tidak sah, sanksi administratif dan sanksi pidana.

“Pertanyaannya mengapa Hakim Anwar Usman dijatuhi sanksi administratif, jawabannya karena Anwar Usman melanggar larangan pasal 17 ayat (5) UU No.48 tahun 2009 jo. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,” lanjut Petrus.

Dengan demikian meniadakan berlakunya ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No.48 Tahum 2009 pada Hakim Konstitusi, hal itu harus dengan UU bukan dengan tafsir UU oleh MK. Ketentuan pasal 73 UU HAM bahwa Hak dan Kebebasan yang diatur dalam UU hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU.

“Karena itu tidak diterapkan ketentuan pasal.17 ayat 6 UU No.48 Tahun 2009 pada Hakim Komstitusi tidak boleh berdasarkan tafsir Hakim melainkan hanya boleh dengan UU,” pungkas Petrus.

Editor : Kartika Indah Kusumawardhani

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut