Sementara ketika purnawirawan militer memimpin Indonesia yaitu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun, justru pertumbuhan ekonomi tumbuh 6,2 persen, demokrasi berjalan stabil.
Terkait ketakutan kembali lahirnya dwifungsi TNI dalam RUU TNI, menurut Faizal, sama sama sekali tidak berdasar. Ketakutan itu justru dibangun sebagai propaganda terhadap rakyat, dan sangat berbahaya bagi bangsa.
"Jadi saya ingin mengatakan kepada kawan-kawan koalisi masyarakat sipil stop menggunakan sipil untuk menghantam polisi, menghantam tentara menghantam lawan politik. Kita semua sipil, tentara juga pensiun statusnya sipil, tentara masuk ke eksekutif dia juga tunduk kepada aturan sipil. Jadi diskriminasi dikotomi ini harus dihentikan,” ujar Faizal.
Senada dengan Faizal, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menambahkan dua jabatan yang diemban dalam pemerintahan bukanlah hal baru di Indonesia.
“Ini biasa saja dan masih ada resonansi dengan fungsi dasar mereka. Misalnya pengentasan narkoba, anda jangan melihat pemberantasan narkoba dalam dimensi hukum dan politiknya. Jadi karena itu saya melihat yang tejadi dan yang dibahas dalam RUU TNI ini bagi saya ini hal yang sangat simpel,” kata Margarito.
Pria yang pernah menjabat sebagai Staff Ahli Menteri Sekretaris Negara itu tidak mempermasalahkan untuk Angkatan Darat mengelola Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dan Angkatan Laut mengelola Bakamla.
“Jujur saja, saya mengatakan dari sudut pandang saya tidak ada jalan kembali ke supremasi militer atau militerisasi, why? Karena tatanan institusi kita tidak memberikan jalan TNI ke arah itu. Jadi di UUD kita tidak berwenang untuk kebijakan-kebijakan politik fundamental,” pungkasnya.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait
