DEPOK, iNewsDepok.id - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, menilai, Bharada E atau Richard Eliezer Phudiang Lumiu, bukan pelaku tunggal dalam kasus pembunuhan Brigadir J, karena ada orang yang menyuruh dan membantunya.
Baharada E sendiri pada Rabu (3/8/2022) malam telah ditetapkan sebagai tersangka dengan jeratan pasal 338 Jo pasal 55 dan 56 KUHP.
"Penetapan tersangka itu merupakan tindakan korektif dari kepolisian karena sebelumnya kasus Brigadir J dikonstruksikan sebagai kasus baku tembak, dan Bharada diberikan tempat seolah melakukan itu untuk membela diri," kata Usman dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta nasional seperti dikutip Kamis (4/8/2022).
Ia menambahkan, dengan menetapkan Bharada E sebagai tersangka, polisi bukan saja telah mengoreksi konstruksi kronologi yang dibangun sebelumnya dalam kasus tersebut, tetapi juga menyanggah bahwa Bharada E membunuh Brihadir J karena membela diri.
Selain itu, argumen polisi sebelumnya bahwa karena Bharada E membunuh Brihadir J karena terpaksa untuk membela Putri Candrawathi, istri Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo, sehingga tidak bisa dipidana, itu juga dikoreksi dengan ditetapkannya Bharada E sebagai tersangka.
"Rujukan pasal 338, pasal 55 dan 56 yang digunakan polisi (terhadap Bharada E), menempatkan perbuatan (Bharada E) itu dalam kerangka ada yang menyuruh melakukan, ada yang ikut atau turut serta melakukan atau setidaknya ada yang membantu melakukan. Artinya, tersangkanya tidak tunggal, tetapi tampaknya polisi terlalu hati-hati (dalam menangani kasus ini), sehingga hanya dijelaskan satu tersangka," imbuh Usman.
Ia menilai, penetapan Bharada E sebagai tersangka bukanlah suatu kejutan, karena dari awal pun polisi telah menempatkan Bharada E sebagai orang yang menewaskan Brigadir J.
"Yang juga diharapkan masyarakat adalah apakah mungkin seorang bhayangkara dua dengan pangkat cukup rendah (seperti Bharada E) berani menembak seorang brigadir satu atau Brigadir? Aapalagi karena Brigadir J (merupakan) ajudan (Irjen Ferdy) yang cukup lama seperti ajudan bernama Raden Miftahul Haq, sementara Bharada E baru beberapa bulan menjadi ajudan, sehingga rasanya tidak mungkin berani melakukan itu," sambung Usman.
Ia membenarkan kalau pengenaan pasal 338, 55 dan 56 KUHP terhadap Bharada E mengindikasikan kalau adanya otak di balik pembunuhan Brigadir J. Apalagi karena telah terungkap kalau Brigadir J tidak hanya tewas akibat penggunaan senjata api dan peluru, tetapi juga menggunakan kekerasan lain.
"Kalau polisi bisa membuktikan, kita akan mengerti (tentang) luka-luka di tubuh korban, seperti di leher, mata, hidung, belakang telinga, tangan, di kaki ..Ini akan membutuhkan perkembangan lebih lanjut siapa yang menyuruh dan siapa saja yang membantu (Bharada E dalam membunuh Brigadir J)," jelas Usman.
Soal apakah dalam perkembangannya nanti kasus ini dapat ditingkatkan menjadi kasus pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP) sebagaiman yang disuga pengacara keluarga Brigadir J dan dilaporkan ke Bareskrim Polri pada 18 Juli 2022, Usman mengatakan tergantung pada alat bukti yang ditemukan penyidik Polri yang dapat menjelaskan apakah sebelum Brigadir J tewas pada 8 Juli 2022 ada tindakan-tindakan yang mendahului dan terkait dengan kasus itu ataukah tidak.
"Kalau itu ada, bisa didorong ke pembunuhan berencana, tetapi polisi sepertinya membatasi kasus ini pada pasal 338," katanya.
Tentang motif pembunuhan ini, Usman menjelaskan bahwa yang memiliki motif tersebut adalah yang menyuruh pembunuhan itu atau otaknya.
Seperti diketahui, pada 11 Juli 2022, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, Brigadir J tewas di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo yang kini telah dinonaktifkan, setelah baku tembak dengan Bharada E karena Brigadir J melecehkan Putri Candrawathi, istri Irjen Ferdy.
Namun, setelah keluarga Brigadir J menerima jenazahnya, mereka menemukan tak hanya luka tembak pada jasad Brigadir J, tetapi juga banyak luka-luka yang diduga akibat penganiayaan. Bahkan dari hasil visum et repertum saat autopsi ulang terhadap jenazah Brigadir J, luka tembak yang diderita ajudan Irjen Ferdy itu juga berbeda dengan yang disampaikan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Budhi Herdi Susianto yang juga saat ini telah dinonaktifkan.
Saat konferensi pers pada 12 Juli, Budhi mengatakan kalau hasil autopsi sementara terhadap jenazah Brigadir J terdapat tujuh luka tembak masuk dan 6 luka tembak keluar dan satu proyektil bersarang di dada.
Namun, dari hasil visum et repertum diketahui, kalau sedikitnya ada empat luka tembak yang semuanya tembus, yakni dari belakang kepala tembus ke hidung, dari leher kiri tembus ke bibir, satu tembakan yang menebus dada, dan satu lagi menembus lengan kanan.
Perbedaan luka-luka pada jenazah Brigadir J inilah, juga karena adanya petunjuk bahwa sebelum tewas, sejak akhir Juni hingga 7 Juli 2022, Brigadir J telah menerima ancaman pembunuhan, maka pengacara keluarga Brigadir J menduga kalau Brigadir J tewas bukan karena baku tembak, melainkan karena dibunuh secara berencana.
Untuk diketahui, pasal 55 KUHP menyatakan:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, keterangan, atau sengaja menganjurkan orang lain agar melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.
Sementara pasal 56 KUHP menyatakan: dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan
Editor : Rohman
Artikel Terkait