Dalam QS. al-Anbiya’ ayat 107 Allah SWT berfirman yang artinya; "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil'alamin).
Secara bahasa, kata rahmat berarti kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Kata ini bisa juga diartikan sebagai kasih sayang. Artinya Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk memberikan kasih sayang kepada seluruh alam, termasuk manusia dan lainnya.
Para ahli tafsir mengartikan rahmatan lil ‘alamin ke dalam banyak pemahaman. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah misalnya. Dia menafsirkan rahmatan lil'alamin ke dalam dua pendapat. Pertama, alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Kedua, Islam adalah rahmat bagi setiap manusia. Orang yang beriman akan menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaatnya di dunia maupun di akhirat, sedangkan orang kafir menolaknya sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima.
Sementara Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir memaknai QS. al-Anbiya’ ayat 107 sebagai berikut:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”
Ulama sependapat, karena merupakan rahmat, maka Islam adalah agama yang mengajarkan dan membawa ketenangan, kedamaian, keamanan, dan perlindungan bagi seluruh alam, termasuk manusia.
Dalam Islam, jangankan membunuh, menzalimi orang saja tidak boleh.
Sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan Abu Dzar Al Ghifari RA dari Nabi Muhammad SAW sebagai berikut yaitu Rasulullah menyampaikan bahwa sesungguhnya Allah SWT telah berfirman yang artinya; "Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya".
Sebuah hadist yang dituturkan Imam al-Tirmidzi dan oleh para ulama dinyatakan shahih (Sunan al-Tirmidzi, hlm. 512), disebutkan; "Dari Ka’ab bin ‘Ujrah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw menghampiri kami, kami berjumlah sembilan, lima, dan empat. Salah satu bilangan (kelompok) dari Arab sementara yang lain dari ‘Ajam. Beliau bersabda: Dengarkan, apa kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku nanti akan ada pemimpin-pemimpin, barangsiapa yang memasuki (berpihak kepada) mereka lalu membenarkan kedustaan mereka serta menolong kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan tidak akan mendatangi telagaku. Barangsiapa tidak memasuki (berpihak kepada) mereka, tidak membantu kezaliman mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka, ia termasuk golonganku, aku termasuk golongannya dan ia akan mendatangi telagaku".
Maka, jika membunuh dan berbuat zalim pun dilarang, bagaimana Islam distigmakan sebagai agama teroris, dan radikal?
Soal toleransi, dalam QS. al-Kafirun ayat 6 Allah SWT berfirman; "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”.
Menurut Zubdatut dalam Tafsir Min Fathil Qadir, setiap maksud ayat tersebut adalah, "Jika kalian telah rela dengan agama kalian, maka aku juga telah rela dengan agamaku. Dan agama kemusyrikan kalian itu hanya bagi kalian dan tidak akan mempengaruhiku; begitu pula agama ketauhidanku hanya bagiku dan tidak akan sampai kepada kalian pahalanya."
Dalam buku Manokwari Kota Injil: Nilai-Nilai Pluralisme Agama Masyarakat Prafi oleh Muh Huzain dkk, surat Al Kafirun ayat 6 menggambarkan bahwa Islam sangat komunikatif dalam memahami perbedaan keyakinan, kepercayaan, kebangsaan, dan kebudayaan. Islam juga telah mengatur dengan sempurna kaidah-kaidah dalam menyikapi perbedaan tanpa menghilangkan prinsip dan keyakinan dalam Islam.
Editor : Rohman
Artikel Terkait