Perbuatan-perbuatan Yang Dapat Membuat Seorang Muslim Keluar dari Islam Tanpa Disadari

Maman
Umat Islam mengaji di masjid. Foto: iNews.id

SETIAP agama menganjurkan penganutnya menjalankan aturan-aturan yang tercantum dalam kitabnya, dan dilarang melakukan hal-hal yang juga ditetapkan dalam kitab tersebut, karena sejatinya kitab sebuah agama merupakan pedoman, petunjuk dan tuntunan bagi umatnya. 

Dalam Islam, pedoman bagi umatnya tidak hanya kitab suci Al Qur'an, tetapi juga hadist

Secara harfiah, hadist dapat diartikan sebagai perkataan (sabda), percakapan, atau perbuatan. Sedangkan secara terminologi, hadist didefinisikan sebagai catatan yang bersumber dari pernyataan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang dijadikan landasan syariat islam.

Secara garis besar, jika merujuk pada definisi yang diberikan para ahli hadist, ahli ushul fiqh (Ushuliyyun) dan beberapa ulama, hadits mempunyai makna segala perkataan (sabda), perbuatan, dan ketetapan lainnya dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan hukum syariat islam selain Al-Qur’an. 

Hadist merupakan penjelasan lebih detil tentang apa yang tercantum dalam Al Qur'an, karena Al Qur'an berisi pedoman/aturan yang bersifat global, sehingga apa yang tidak dijelaskan di dalam Al Qur'an, maka dapat dicari dalam hadist, karena pada dasarnya hadits memiliki fungsi utama untuk menegaskan, memperjelas dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di Al-Qur’an. 

Nabi Muhammad SAW bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13). 

Sayangnya, tak sedikit umat Islam yang malas membaca Al Qur'an dan mempelajari hadist meskipun berkenaan langsung dengan hidupnya, sehingga apa yang diketahuinya tentang hukum Islam didapatkan dari orang-orang di sekitarnya, dan itu pun tanpa ditabayyunkan lagi dengan mencarinya di Al Qur'an maupun hadist. Padahal, apa yang dikatakan orang tersebut belum tentu benar, dan dapat menjerumuskannya pada kesesatan  

Dalam Islam dikenal beberapa istilah yang terkait dengan perilaku seseorang yang dikaitkan dengan ajaran agama rahmatan lil alamin tersebut, yakni mukmin (orang yang beriman), kufur (kafir), fasik, munafik, dan murtad. Dari semua perilaku tersebut, yang mulia adalah mukmin.

Dalam sebuah riwayat, Dr. Khalid bin Abdurrahman al-Juraysi ditanya; “Apakah garis pemisah di antara kufur dan Islam? Apakah orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat kemudian melakukan perbuatan yang bertentangan dengannya masuk dalam golongan kaum Muslimin, sekalipun ia tetap salat dan puasa?”

Dr. Khalid menjawab; “Garis pemisah di antara kufur dan Islam adalah: mengucapkan dua kalimah syahadat dengan benar dan ikhlas dan mengamalkan tuntutan keduanya. Barangsiapa yang terealisasi hal itu padanya, maka dia seorang Muslim yang beriman (Mukmin). Adapun orang yang munafik, maka dia tidak jujur dan tidak ikhlas, maka dia bukanlah seorang Mukmin. Demikian pula orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat dan melakukan perbuatan syirik yang bertentangan dengan keduanya, seperti orang yang meminta tolong kepada orang yang sudah meninggal di saat susah atau senang, orang yang lebih mengutamakan hukum-hukum positif (buatan manusia) di atas hukum yang diturunkan Allah, orang yang mengolok-olok Al-Qur`an atau yang shahih dari sunnah Rasulullah, maka dia adalah kafir, sekalipun ia mengucapkan dua kalimah syahadat, salat dan puasa.”

Mukmin berasal dari akar kata 'iman' yang berarti percaya dan amanah, sehingga Mukmin dapat didefinisikan sebagai orang yang dapat diberi kepercayaan. Dengan kata lain, mukmin adalah orang yang mengatakan keimanan dengan lidahnya, diyakini dengan hatinya dan dikerjakan dengan perbuatan (dalam hal ini termasuk mengamalkan Rukun Islam yang 5 dan Rukun Iman yang 6).

Dalam QS: An-Nisa’:136 Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya".

Kufur, menurut syara' artinya tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya. Maksud dari mendustakan berarti menentang atau menolak, sedangkan tidak mendustakan artinya hanya sekadar tidak beriman dan tidak percaya. Orang yang kufur disebut kafir.

Munafik berasal dari bahasa Arab 'munafiqun' yang dalam terminologi  Islam merujuk pada orang-orang yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, tetapi sebenarnya hati mereka memungkirinya.

Fasik secara istilah yaitu seseorang yang menyimpang dari ketaatannya kepada Allah SWT dan melampaui batas dalam perbuatan dosa. Para ulama menyebut, fasik ialah hamba yang melakukan dosa besar dan terus melakukan dosa-dosa kecil. Orang yang fasik senantiasa mengabaikan perintah Allah SWT dan meninggalkan amal saleh. 

Dan murtad adalah sikap mengganti atau meninggalkan suatu agama yang dilakukan oleh seseorang, sehingga ia menjadi ingkar terhadap agama yang diyakini sebelumnya.

Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari dalam tulisan berjudul 'Pembatal-Pembatal Keimanan' menjelaskan, ada tiga perkara yang membatalkan keimanan seseorang terhadap Islam (murtad), yakni qauliyah (ucapan), ‘amaliyah (perbuatan), dan i’tiqadiyah (keyakinan).

Pembatal keimanan karena qauliyah letaknya adalah di lisan di mana kalimat-kalimat yang diucapkan menyebabkan batalnya keimanan dan menjadi kafir.

Banyak orang berpersepsi bahwa mencela Allah SAW, Nabi Muhammad SAW dan agama Islam tidaklah menyebabkan pelakunya menjadi keluar dari Islam (kafir) selama di dalam hatinya masih ada keimanan.

Anggapan ini, kata Ustadz Abu Hamzah, keliru karena bertentangan dengan nas (dalil) dan apa yang telah ditetapkan ulama.

Allah SWT berfirman;

لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَۚ

“Sesungguhnya, telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putra Maryam’.” (al-Maidah: 17)

 

لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٍۘ

“Sesungguhnya, telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang tiga’.” (al-Maidah: 73)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barang siapa mengucapkan perkataan kufur dengan lisannya, dalam keadaan sengaja dan tahu bahwa itu adalah ucapan kufur, ia telah kafir lahir dan batin. Tidak boleh bagi kita terlalu berlebihan sehingga harus dikatakan, ‘Mungkin saja dalam hatinya ia mukmin’. Siapa yang mengucapkan (kekufuran) itu, sungguh dia telah keluar dari Islam.

Allah SWT berfirman:

مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرًا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barang siapa kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (an-Nahl: 106) (ash-Sharimul Maslul, hlm. 524)

 

Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar  rahimahullah  menerangkan kalau para ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya, menolak sesuatu yang telah Allah turunkan, atau membunuh seorang nabi Allah alaihimus salam meski dia mengimani apa yang Allah turunkan, maka dia kafir. (at-Tamhid, 4/226, melalui nukilan dari at-Tawassuth wal Iqtishad, hlm. 38)

Hal yang sama dikatakan Imam Ibnu Rajab rahimahullah dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.

Imam Ibnu Rajab rahimahulla berkata; “Jika (seseorang) mencela Allah SWT dan Rasul-Nya, padahal dia meyakini dua kalimat syahadat, dihalalkan darahnya. Sebab, dengan itu dia telah meninggalkan agamanya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hlm. 171, syarah hadits ke-14)

Sedang Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata; "Mencela din (agama) adalah kufur akbar dan murtad dari Islam, wal ‘iyadzu billah (Kita memohon perlindungan kepada Allah). Apabila seorang muslim mencela agamanya atau Islam, atau melecehkan dan menganggap remeh serta merendahkan Islam, ini adalah riddah (kemurtadan) dari Islam".

Ibnu Taimiyah rahimahullah pun menjelaskan hal yang sama ketika membantah pendapat yang menyatakan bahwa ucapan lisan semata tidaklah menyebabkan kekafiran. Beliau berkata, “Sesungguhnya, kita mengetahui bahwa orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan sukarela bukan karena terpaksa, demikian pula yang mengucapkan kalimat-kalimat kufur dengan sukarela dan tidak dipaksa, serta orang yang mengejek Allah, Rasul-Nya, dan ayat-ayat-Nya, dia telah kafir lahir batin.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/368)

Pembatal Iman karena perbuatan adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar syariat Islam dan dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan dan penghinaan terhadap din (agama). Misalnya, sujud kepada patung atau matahari, melemparkan mushaf Al-Qur’an ke tempat-tempat kotor, melakukan sihir, dan sebagainya.

Imam al-Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah dalam Syarhus Sunnah (hlm. 31) mengatakan; "Tak ada seorang pun dari kaum muslimin keluar dari Islam sampai dia menolak satu ayat dari Kitab Allah atau menolak sesuatu dari hadits Rasulullah SAW, atau salat kepada selain Allah SWT, atau menyembelih bagi selain Allah. Jika ada yang melakukan salah satu dari hal tersebut, engkau wajib mengeluarkannya dari Islam".

Sementara Al-Qadhi Iyadh bin Musa rahimahullah berkata; "Demikian pula kami menyatakan kafir terhadap perbuatan yang telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang tidak dilakukan, kecuali oleh orang-orang kafir, meski pelakunya menyatakan Islam saat melakukannya. Contohnya, (perbuatan) sujud kepada patung atau matahari, bulan, salib, dan api, serta berusaha mendatangi gereja dan berjanji setia bersama penghuninya. Semua perbuatan ini tidaklah dilakukan kecuali oleh orang-orang kafir". (at-Tawassuth wal Iqtishad, hlm. 41)

Imam Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi berkata; "Kafir karena perbuatan contohnya adalah melempar mushaf ke tempat-tempat kotor, menentang hari kebangkitan, menentang kenabian atau sifat Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengatakan (Allah) tidak mengetahui, tidak menghendaki, atau tidak hidup, dan selainnya.” (at-Tawassuth wal Iqtishad, hlm. 47)

Pembatal iman karena i’tiqadiyah (keyakinan) adalah keyakinan-keyakinan dalam hati atau amalan-amalan hati yang membatalkan keimanan. Misalnya, al-i’radh (berpaling), yakni meninggalkan al-haq (kebenaran), tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya.

Allah SWT berfirman,

بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ٱلۡحَقَّۖ فَهُم مُّعۡرِضُونَ

“Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (al-Anbiya’: 24)

Dalam kitab al-Madkhal, hlm. 156 disebutkan; "Barang siapa berpaling dari syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW dari Rabb-nya, dengan cara memalingkan hatinya sehingga tidak beriman terhadapnya atau memalingkan anggota badan sehingga mengamalkannya, berarti dia kafir karena pembangkangannya itu".

Kekafiran karena i’tiqad (keyakinan) yang lainnya adalah menolak dan menyombongkan diri di hadapan al-haq, melecehkannya dan melecehkan para pengikutnya, dalam keadaan meyakini bahwa apa yang dibawa Rasulullah SAW adalah benar-benar dari Rabb-nya. 

Allah SWT berfirman,

وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 34)

Menganggap halal (istihlal) terhadap sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan diketahui secara pasti keharamannya dalam agama adalah penyebab kekafiran, terutama jika menyangkut  i’tiqad  (keyakinan). Adapun kalau menyangkut fi’il  (perbuatan), harus dilihat dahulu bentuk perbuatannya, apakah perbuatan yang menyebabkan pelakunya kafir ataukah tidak.

Syaikh Ibnu Utsaimin  rahimahullah  pernah ditanya tentang ketentuan  istihlal yang menyebabkan seseorang kafir. Beliau menjawab,

“Istihlal adalah seseorang meyakini halalnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT (dan ini adalah istihlal i’tiqadi (penghalalan yang berkenaan dengan keyakinan), menyebabkan kafir pelakunya, red). Adapun istihlal fi’li (penghalalan yang berkenaan dengan perbuatan), harus dilihat. Apabila memang menyangkut perbuatan yang dapat menjadikan pelakunya kafir, dia kafir murtad".

Misalnya, seseorang sujud kepada patung, maka dia kafir. Mengapa? Karena perbuatan itu menjadikannya kafir.

Contoh lain adalah seseorang yang bermuamalah dengan riba. Ia tidak meyakini riba itu halal, tetapi tetap melakukannya. Dia tidaklah kafir karena dia tidak menganggap halal (riba tersebut). Telah diketahui secara umum bahwa memakan harta riba tidaklah menyebabkan seseorang menjadi kafir, tetapi perbuatan tersebut adalah dosa besar.

Namun, apabila ada seseorang berkata, ‘Sesungguhnya riba itu halal’, ia kafir karena telah mendustakan Allah SWT dan Rasul-Nya.

SYEIKH Abdul Majid Az Zandani, ulama besar yang lahir di Yaman pada tahun 1942 dan merupakan pendiri Universitas Al-Iman Asy-Syar'iyah di Yaman, menyebut kalau perilaku nifaq yang pelakunya disebut munafiq, termasuk faktor yang dapat membuat seseorang keluar dari Islam. 

Nifaq atau munafik memiliki banyak jenis, antara lain: 

a. Menolak berhukum dengan syariat Allah, meskipun dalam keseharian manampakkan diri sebagai orang Muslim, lengkap dengan atributnya, seperti berpeci, berjilbab dan lain-lain. Sikap mereka ini dicatat dalam QS: An-Nisa’: 61:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُوداً

“Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul ! Niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” 

b. Menjadikan orang kafir sebagai pelindung, pembela dan penguat dalam kehidupan keseharian. Mereka meninggalkan orang-orang yang beriman dan lebih cenderung dan condong kepada kekafiran.

Dalam QS.An-Nisa’: 138-139 Allah SWT berfirman; “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang beriman.” 

c. Memusuhi orang Mukmin akibat kedekatannya dengan orang-orang kafir.

Dalam QS Al-Mujadilah: 22 Allah SWT berfirman: "Kamu tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” 

Wallahu'alam bissawab .

(Dari berbagai sumber)

 

 

Editor : Rohman

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network