Jika perjanjian ini masih diterapkan, menurut Mone risikonya adalah kurang kondusifnya iklim persaingan usaha dan mungkin saja menghalangi pemain baru untuk berinvestasi dan memasuki pasar otomotif di Indonesia.
Industri otomotif di Indonesia didominasi oleh lima produsen besar, yakni Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi Motors. Mereka telah menguasai 82,3 persen dari total produksi nasional. Mone menjelaskan bahwa industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan.
“Ada berbagai kondisi telah memicu penerapan praktik monopoli atau oligopoli, baik melalui perjanjian vertikal maupun horizontal antar produsen,” ujarnya di acara yang dihadiri pembicara dari berbagai universitas di Indonesia, dan beberapa pembicara asing dari Leiden University, Chulalongkorn University, Western Sydney University, dan Monash University ini.
Mone menyebutkan bukan hal yang aneh bagi produsen mobil untuk terlibat dalam perjanjian horizontal maupun vertikal dengan tujuan untuk mendominasi pasar. “Perjanjian vertikal merupakan perjanjian yang dibuat oleh perusahaan induk berdasarkan tempat asal, seperti Toyota dari Jepang, yang membuat perjanjian dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) di Indonesia, yaitu PT Astra International,” Mone mencontohkan.
Selain itu juga ada fenomena agen tunggal pemegang merek (ATPM) mengadakan perjanjian eksklusivitas dengan dealer di bawahnya. Menurutnya ini salah satu trik untuk untuk meningkatkan volume penjualan mobil tertentu. “Di sisi lain ada yang perlu diwaspadai, karena perjanjian eksklusivitas ini membuat dealer susah untuk mengembangkan bisnisnya,” ucapnya.
Dian Parluhutan menambahkan bahwa meskipun industri otomotif dianggap sebagai sektor strategis, terdapat risiko yang muncul dari praktik perjanjian eksklusivitas yang tidak sehat. Tidak jarang distributor membuat perjanjian eksklusivitas dengan dealer yang mewajibkan dealer untuk meminta izin kepada distributor jika mendirikan perusahaan baru menjual produk otomotif merek lain. Dengan kata lain, investor dilarang menjual merek lain, walaupun dengan mendirikan badan usaha baru yang tidak berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual pemegang merek ataupun distributor.
Perjanjuan ekslusivitas ini berdampak buruk pada lanskap persaingan sektor otomotif. “Praktik seperti ini dapat menciptakan hambatan bagi pendatang baru, yang kesulitan bersaing dengan produsen besar yang telah mendominasi pasar,” ucapnya. Dia menekankan pentingnya pengawasan yang ketat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memastikan bahwa persaingan yang adil tetap terjaga. Dian menambahkan KPPU dan asosiasi pelaku usaha otomotif perlu segera bertindak secara proaktif untuk merumuskan regulasi khusus di sektor otomotif. Cara ini dapat mendorong ekosistem persaingan usaha yang efektif dan sehat.
Relevansi UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga mendapat sorotan. Menurutnya, diterapkannya perjanjian eksklusivitas pada industri otomotif telah melanggar UU 5/1999.
Meski telah diatur dalam undang-undang, acap kali ada mereka yang nakal. Relasi kuasa antara ATPM dengan pengecer bisa menjadi celah mengakali UU 5/1999 tersebut. Dian pun menegaskan bahwa perjanjian eksklusivitas ini dilarang di Indonesia. “Meskipun regulasi telah ada, penerapannya sering kali belum optimal. Industri ini membutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif untuk mendukung iklim persaingan yang sehat,” kata Dian.
Sementara itu, Guntur menyarankan agar kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan KPPU dibutuhkan untuk mendorong inovasi dan investasi yang berkelanjutan di sektor otomotif. Apalagi pada 2023 ada peningkatan ekspor untuk sektor otomotif sebesar 5,96% (yoy). “Industri otomotif tidak hanya berkontribusi terhadap perekonomian, tetapi juga menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 1,5 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta