Bahkan masalah pembebesan lahan pernah terjadi pada kepemimpinan Khulafaur Rasyidin sahabat Umar RA, dan sahabat Usman RA. Ketika itu mereka harus melebarkan Masjid Nabawi. Hal ini tertera dalam kitab Ahkam al-Sulthaniyah karya Syaikh abu Hasan Almawardi:
فَلَمَّا اسْتُخْلِفَ عُمَرُ. وَكَثُرَ النَّاسُ وَسَّعَ الْمَسْجِدَ وَاشْتَرَى دَوْرًا هَدَمَهَا وَزَادَهَا فِيْهِ وَهَدَمَ عَلَى قَوْمٍ مِنْ جِيْرَانِ الْمَسْجِدِ أَبَوْا أَنْ يَبِيْعُوْا وَوَضَعَ لَهُمْ اْلأَثْمَانَ حَتَّى أَخَذُوْهَا بَعْدَ ذَلِكَ وَاتَّخَذَ لِلْمَسْجِدِ جِدَارًا قَصِيْرًا دُوْنَ الْقَامَةِ وَكَانَتْ الْمَصَابِيْحُ تُوْضَعُ عَلَيْهِ وَكَانَ عُمَرُ. أَوَّلَ مَنْ يَتَّخِذُ جِدَارًا لِلْمَسْجِدِ. فَلَمَّا اُسْتُخْلِفَ عُثْمَانُ. اِبْتَاعَ مَنَازِلَ فَوَسَّعَ بِهَا الْمَسْجِدَ وَأَخَذَ مَنَازِلَ أَقْوَامٍ وَوَضَعَ لَهُمْ أَثْمَانَهَا فَضَجُّوْا مِنْهُ عِنْدَ الْبَيْتِ فَقَالَ : إِنَّمَا جَرَأَكُمْ عَلَيَّ حِلْمِيْ عَنْكُمْ فَقَدْ فَعَلَ بِكُمْ عُمَرُ. هَذَا فَأَقْرَرْتُمْ وَرَضِيْتُمْ ثُمَّ أَمَرَ بِهِمْ إِلَى الْحَبْسِ حَتَّى كَلَّمَهُ فِيْهِمْ عَبْدُ اللهِ بْنِ خَالِدِ بْنِ أَسَدٍ فَخَلَّى سَبِيْلَهُمْ
Ketika sahabat Umar RA diangkat sebagai Khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, ia memperluas Masjid Nabawi dengan membeli rumah warga sekitar dan merobohkannya. Lalu ia menambah perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk sekitar masjid yang enggan menjualnya. Beliau lalu memberi harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya.
BACA JUGA:
Warga NU Wadas Dibenturkan, Gus Aun: Ada Pihak Klitikin Jangkrik
Ketika sahabat Utsman RA diangkat sebagai khalifah, ia lalu membeli rumah-rumah (untuk perluasan mesjid Nabawi). Beliau mengambil rumah-rumah penduduk dan menetapkan harganya. Mereka lalu berdemo di kediamannya.
Beliau lalu berkata: “Sungguh kesabarankulah yang membuat kalian berani terhadapku, sungguh hal ini pernah dilakukan Umar terhadap kalian, dan kalian menyetujuinya”.
Lalu beliau memerintahkan memenjarakan mereka, sampai Abdullah bin Khalid bin Asad berbicara kepadanya, dan ia melepas mereka kembali.
Dari kisah tersebut, bisa kita simpulkan juga, pemerintah legal untuk mengakuisi tanah dalam rangka pembangunan meskipun pemilik tanah menolak, asalkan demi kemaslahatan, apalagi dalam setiap pembebasan lahan pemerintah selalu menghargai tanah warga dengan tinggi diatas harga keumumannya, sesuai apa yang termaktub dalam kitab Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir:
وَأَمَّا لَوْ أُجْبِرَ عَلَى الْبَيْعِ جَبْرًا حَلاَلاً كَانَ الْبَيْعُ لاَزِمًا كَجَبْرِهِ عَلَى بَيْعِ الدَّارِ لِتَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ أَوِ الطَّرِيْقِ أَوِ الْمَقْبَرَةِ
Adapun jika dipaksa untuk menjual dengan pemaksaan yang halal, maka penjualannya sah sebagaimana pemaksaan menjual tanah untuk perluasan mesjid, jalan umum atau kuburan.
Editor : M Mahfud