Katie Atkins, rektor di Edinburgh Medical School yang juga seorang profesor di London School of Hygiene and Tropical Medicine, mengatakan, peneletian itu perlu menggunakan studi kasus untuk mendukung pentingnya akses universal terhadap pengobatan, baik untuk mengurangi jumlah orang yang meninggal karena AIDS, maupun juga sebagai sarana untuk mengurangi jumlah virus yang beredar.
"Studi kasus juga dapat mengurangi kemungkinan munculnya varian baru yang lebih mematikan,” katanya.
Kronologi penemuam varian baru HIV
Wymant dan ahli epidemiologi penyakit menular Christophe Fraser, penulis senior studi tersebut, adalah anggota kunci dari proyek BEEHIVE, sebuah proyek yang bertujuan untuk lebih memahami biologi, evolusi, dan epidemiologi HIV.
"Proyek BEEHIVE dimulai pada 2014, dibuat untuk memahami bagaimana perubahan virus yang dikodekan dalam genetikanya, dan yang menyebabkan perbedaan penyakit. Proyek ini mengumpulkan data dari tujuh kohort HIV nasional di Eropa dan ditambah satu di Uganda," kata Wymant.
Saat menganalisis data dari penelitian yang sedang berlangsung, tim mengidentifikasi 17 orang yang terinfeksi dengan varian HIV "berbeda", semuanya membawa konsentrasi virus yang sangat tinggi dalam darah mereka di awal infeksi, yakni antara enam bulan hingga dua tahun setelah diagnosis. Dari ke-17 orang itu, 15 orang yang terinfeksi berasal dari Belanda, satu dari Swiss dan satu dari Belgia.
Varian baru yang ditemukan milik subtipe genetik B, sekelompok virus HIV terkait yang paling sering ditemukan di Eropa dan AS. Untuk melihat apakah mereka dapat menemukan lebih banyak contoh varian di Belanda, para peneliti menyaring data dari kohort observasional HIV nasional ATHENA, sekelompok besar orang HIV-positif di Belanda yang didiagnosis antara tahun 1981 hingga 2015.
Editor : Rohman