DEPOK, iNews.id - Varian baru virus Human immunodeficiency virus (HIV) ditemukan di Belanda, dan tampaknya varian ini akan lebih cepat menyebabkan AIDS dan mungkin lebih menular dibanding varian HIV yang lain.
"Infkesi HIV menghancurkan sel-sel kekebalan yang disebut sel CD4 di dalam tubuh, sehingga menyebabkan jumlah sel-sel ini turun drastis. Jika tidak diobati, infeksi kemudian berkembang menjadi AIDS," kata Live Science seperti dikutip Sabtu (5/2/2022).
Pada orang yang terinfeksi varian HIV yang baru, yang disebut varian VB, jumlah CD4 turun sekitar dua kali lipat dibandingkan orang yang terinfeksi varian HIV yang lain, akan tetapi varian yang baru maupun yang lama diidentifikasi berasal dari subtipe genetik yang sama (B).
Pada jurnal Science edisi 3 Februari 2022, para peneliti melaporkan bahwa tanpa pengobatan, infeksi varian VB kemungkinan akan berkembang menjadi AIDS rata-rata dalam 2-3 tahun setelah diagnosis awal, sementara pada infeksi HIV versi lain, tingkat penurunan yang serupa terjadi rata-rata sekitar 6-7 tahun setelah diagnosis awal.
“Kami menemukan bahwa rata-rata individu yang terinfeksi varian baru ini diperkirakan akan berkembang dari diagnosis menjadi 'HIV lanjut' dalam sembilan bulan jika mereka tidak memulai pengobatan dan jika didiagnosis pada usia 30 tahunan," kata Chris Wymant, seorang peneliti senior di genetika statistik dan dinamika patogen di University of Oxford, kepada Live Science melalui email.
Peneliti yang ikut menuliskan laporannya di jurnal Science itu mengatakan, perkembangan penyakit itu akan lebih cepat pada orang yang lebih tua.
Untung, dalam penelitiannya, tim peneliti menemukan bahwa obat antiretroviral, pengobatan standar untuk HIV, bekerja dengan baik terhadap varian VB seperti yang mereka lakukan terhadap varian virus lainnya.
"Untuk seseorang yang berhasil dalam pengobatan, penurunan sistem kekebalan terhadap AIDS dihentikan, dan penularan virus mereka ke orang lain dihentikan," kata Wymant.
Katie Atkins, rektor di Edinburgh Medical School yang juga seorang profesor di London School of Hygiene and Tropical Medicine, mengatakan, peneletian itu perlu menggunakan studi kasus untuk mendukung pentingnya akses universal terhadap pengobatan, baik untuk mengurangi jumlah orang yang meninggal karena AIDS, maupun juga sebagai sarana untuk mengurangi jumlah virus yang beredar.
"Studi kasus juga dapat mengurangi kemungkinan munculnya varian baru yang lebih mematikan,” katanya.
Kronologi penemuam varian baru HIV
Wymant dan ahli epidemiologi penyakit menular Christophe Fraser, penulis senior studi tersebut, adalah anggota kunci dari proyek BEEHIVE, sebuah proyek yang bertujuan untuk lebih memahami biologi, evolusi, dan epidemiologi HIV.
"Proyek BEEHIVE dimulai pada 2014, dibuat untuk memahami bagaimana perubahan virus yang dikodekan dalam genetikanya, dan yang menyebabkan perbedaan penyakit. Proyek ini mengumpulkan data dari tujuh kohort HIV nasional di Eropa dan ditambah satu di Uganda," kata Wymant.
Saat menganalisis data dari penelitian yang sedang berlangsung, tim mengidentifikasi 17 orang yang terinfeksi dengan varian HIV "berbeda", semuanya membawa konsentrasi virus yang sangat tinggi dalam darah mereka di awal infeksi, yakni antara enam bulan hingga dua tahun setelah diagnosis. Dari ke-17 orang itu, 15 orang yang terinfeksi berasal dari Belanda, satu dari Swiss dan satu dari Belgia.
Varian baru yang ditemukan milik subtipe genetik B, sekelompok virus HIV terkait yang paling sering ditemukan di Eropa dan AS. Untuk melihat apakah mereka dapat menemukan lebih banyak contoh varian di Belanda, para peneliti menyaring data dari kohort observasional HIV nasional ATHENA, sekelompok besar orang HIV-positif di Belanda yang didiagnosis antara tahun 1981 hingga 2015.
Data urutan genetik virus yang tersedia untuk lebih dari 8.000 individu ini, sekitar 6.700 di antaranya terinfeksi virus subtipe B. Dalam kelompok ini, para peneliti mengidentifikasi 92 individu dengan varian VB yang khas, sehingga totalnya menjadi 109.
Berdasarkan data klinis yang tersedia, 109 orang ini membawa viral load 3,5 kali lipat hingga 5,5 kali lipat lebih tinggi dari orang yang terinfeksi dengan jenis subtipe B lainnya. Pada saat didiagnosis, orang yang terinfeksi varian VB sudah memiliki jumlah CD4 yang lebih rendah dari mereka yang terinfeksi jenis lain.
Jadi, dibandingkan dengan orang lain yang baru didiagnosis dengan HIV, jumlah CD4 orang yang terinfeksi VB lebih rendah dan turun lebih cepat.
Untuk menjelaskan bagaimana peningkatan tajam dalam virulensi ini muncul, para peneliti kembali ke genom varian VB untuk mencari petunjuk, dan mereka menemukan bahwa varian tersebut membawa banyak mutasi, tersebar di seluruh genomnya, sehingga untuk saat ini, mereka tidak dapat menentukan satu penyebab genetik yang terisolasi untuk peningkatan virulensi virus.
"Tidak mungkin satu mutasi atau bahkan satu gen yang bertanggung jawab atas perubahan ini," kata Joel Wertheim, seorang profesor kedokteran di University of California, San Diego, yang tidak terlibat dalam penelitian.
Dalam penelitiannya, tim peneliti mampu membuat diagram yang disebut pohon filogenetik yang disusun berdasarkan data genetik yang tersedia.
"Diagram itu sangat mirip dengan pohon keluarga normal untuk manusia. Ini menunjukkan seberapa dekat individu yang berbeda terkait satu sama lain," kata Wymant.
Berdasarkan pohon filogenetik ini, tim memperkirakan bahwa varian VB kemungkinan pertama kali muncul pada akhir 1980-an atau 1990-an di Belanda. Sekitar waktu itu, pengobatan antiretroviral pertama untuk HIV baru saja disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS, dan pengobatan yang menggunakan kombinasi antiretroviral belum tersedia, menurut tinjauan 2019 di jurnal Health Affairs.
“Selama dekade ini, akan ada prevalensi tinggi orang terinfeksi HIV yang tidak diobati yang tidak ditekan virusnya di Eropa Barat. Jumlah orang yang tidak ditekan virusnya tinggi ini akan memberikan populasi virus yang besar di mana varian baru bisa muncul," kata kata Atkins.
Pohon itu menunjukkan bahwa individu yang terinfeksi varian VB membawa "virus yang sangat erat hubungannya satu sama lain". Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa evolusi virus kecil terjadi antara saat seseorang memperoleh virus dan titik ketika mereka menularkannya kepada orang lain.
Dengan kata lain, selain sangat virulen, varian VB mungkin juga lebih menular daripada versi HIV lainnya, meski temuan ini kurang meyakinkan dibandingkan bukti peningkatan virulensi, karena pohon tersebut hanya memberikan bukti tidak langsung tentang penularan virus.
Dari temuan tim peneliti juga terungkap kalau setelah varian VB muncul pada tahun 1980-an atau 1990-an, jumlah orang yang terinfeksi varian ini terus meningkat hingga sekitar tahun 2010. Pada saat yang sama, proporsi kasus VB baru di antara semua kasus subtipe B baru mulai meningkat. Peningkatan ini mencapai puncaknya sekitar tahun 2008 dan kemudian terus menurun.
“Ini kemungkinan besar merupakan hasil sampingan dari upaya kuat di Belanda untuk mengurangi penularan HIV apa pun, terlepas dari variannya,” kata Wymant.
Jumlah absolut dari diagnosis VB dan non-VB menurun saat ini, tetapi Wymant mengakui kalau ada beberapa ketidakpastian dalam data mengenai rasio pasti infeksi VB dan non-VB.
Editor : Rohman