Sebagaimana diketahui bersama, secara substantif maupun prosedural putusan tersebut bermasalah dan, dalam berbagai pernyataan publik, SETARA menyebutnya sebagai kejahatan konstitusional (constitutional evil).
Kedua, putusan MKMK yang pada pokoknya menegaskan bahwa secara kelembagaan MK “terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023”, melalui Ketua MK yang sudah diberhentikan, yaitu Anwar Usman, ipar Presiden sekaligus Paman Cawapres Gibran.
Ketiga, pernyataan publik Ketua KPK Periode 2015-2019, Agus Rahardjo bahwa saat KPK mengungkap kasus korupsi e-KTP dan menetapkan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto, sebagai tersangka, Presiden Jokowi marah dan meminta KPK untuk menghentikan pengungkapan kasus korupsi e-KTP.
“KPK dalam kenyataannya menolak permintaan Presiden. Pernyataan Agus dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK saat itu, Alexander Marwata,” ujar Halili.
Konteks tersebut, lanjut Halili, tentu menguatkan kecurigaan publik bahwa terdapat kekuatan politik, yang mengarah pada Istana Negara, yang kerapkali menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi lembaga-lembaga negara lainnya.
Halili mengungkapkan KPU seharusnya menimbang sentimen publik terkait kepercayaan mereka pada penyelenggaraan Pemilu sebagai ‘pertaruhan terakhir’ kelembagaan demokrasi, yang semakin surut (regressive) dan mengarah pada otoriterisme (leading to authoritarianism).
Namun, lanjut Halili, dengan keputusan mengenai format debat Pilpres 2024, KPU telah menebalkan kecurigaan publik mengenai intervensi kekuasaan eksternal atas KPU. Sikap publik yang mencurigai keputusan KPU menguntungkan salah satu Cawapres, yang gagasan dan kepemimpinan otentiknya sedang dinanti publik dalam Debat Pilpres 2024, merupakan kecurigaan yang masuk akal.
“Dalam konteks itu, KPU telah mempertaruhkan kredibilitas penyelenggaraan Pemilu sebagai salah satu pilar utama demokrasi,” pungkas Halili.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani