DEPOK, iNews.id - Belakangan sedang heboh kasus-kasus ujaran kebencian yang dilontarkan seseorang di media sosialnya, lalu direspons oleh banyak warganet sehingga menjadi trending.
Ujaran kebencian atau hate speech adalah ujaran yang mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar yang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual) maupun tidak langsung (berhenti pada niat) untuk meninspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan atau menyakiti orang atau kelompok lain.
BACA JUGA:
Jadi Tersangka dan Ditahan, "Penyakit" Ferdinand Gagal Menyelamatkannya dari Jeratan Hukum
Ujaran kebencian mencakup spektrum yang luas, mulai dari ucapan kasar terhadap orang lain, ucapan kebencian, hasutan kebencian, perkataan bias yang ekstrim, sampai hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan.
Badan Amal Ditch the Label menyebutkan bahwa ujaran kebencian yang dilontarkan melalui media sosial meningkat sebesar 20% selama pandemi berlangsung di Inggris dan Amerika Serikat.
Sementara di Indonesia, kasus-kasus ujaran kebencian yang mencuat dan menghebohkan, antara lain:
Di media sosial Twitter miliknya @FerdinandHaean3, Ferdinand Hutahaean mencuit, “Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, Maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela.”
Cuitan tersebut telah menyakiti perasaan umat beragama, terutama umat Islam. Karena itu, pada Januari 2022 pihak Kepolisian menerima laporan mengenai dugaan ujaran kebencian yang dilakukan oleh Ferdinand Hutahaean.
Pelapornya adalah Ormas Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulawesi Selatan, yang menyebutkan tersangka melontarkan cuitan yang mengatakan “Allahmu lemah” pada media sosial miliknya, dianggap melecehkan agama Islam di seluruh dunia.
BACA JUGA:
Ferdinand Ditahan di Rutan Bareskrim Polri
Kasus Bahar bin Smith berawal dari ceramah yang dilakukannya di Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Sabtu (11/12/2021).
Ujaran kebencian berdasarkan SARA yang dilontarkan oleh tersangka kemudian diunggah ke media sosial. Tentunya, hal tersebut banyak reaksi warga internet.
Pihak kepolisian telah melakukan penyelidikan dengan meminta keterangan sejumlah saksi.
Akibat perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sejak Mei 2021, Bareskrim Polri telah menetapkan Ustadz Yahya Waloni sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian.
Pada Selasa (28/12/2021), tersangka ditetapkan bersalah karena telah melakukan ujaran kebencian dan penghasutan sehingga menimbulkan permusuhan berdasarkan SARA.
Sebagaimana diketahui ia memelesetkan Roh Kudus menjadi roh kudis dan Stephanus menjadi tetanus. Hal tersebut memancing kemarahan masyarakat. Atas candaannya tersebut, tersangka pernah meminta maaf pada umat Kristiani.
Ia dijerat dengan pasal 45a Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan dihukum penjara selama 7 bulan.
Ada beberapa hal yang turut memberatkan terdakwa, salah satunya adalah bagaimana perbuatan terdakwa yang dinilai dapat merusak kerukunan di antara umat beragama di Indonesia.
Terdakwa dijadwalkan mengadapi sidang pembacaan putusan vonis pada Selasa (11/1/2022), seperti dikutip dari laman SIPP Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani