DEPOK, iNews.id - Ilmuwan mengklaim telah menemukan jenis cuaca baru yang mereka sebut sebagai "Danau Atmosfer".
"Fenomena ini terutama ditemukan di sebagain dunia tertentu, di mana kolam terlihat padat, bergerak lambat dan kaya kelembaban," kata Science Alert seperti dikutip Minggu (2/1/2022).
Temuan yang dipublikasikan menjelang akhir 2021 ini disebut-sebut sebagai sebuah badai yang unik karena terjadi di atas Samudra Hindia bagian barat dan bergerak menuju Afrika.
Namun, tidak seperti kebanyakan badai, Danau Atmosfer diciptakan oleh pusaran danau yang dipicu oleh konsentrasi uap air yang cukup padat untuk menghasilkan hujan.
Danau Atmosfer ini mirip Sungai Atmosfer, tetapi fenomena meteorologi jenis baru ini lebih kecil, bergerak lebih lambat, dan melepaskan diri dari sistem cuaca yang menciptakannya.
"Badan uap ini kadang-kadang melayang ke barat di atas pantai Afrika timur, dengan membawa hujan ke daerah semi-kering itu,” jelas ilmuwan yang menemukan fenomena ini saat mempresentasikan temuannya pada Pertemuan Musim Gugur American Geophysical Union tahun 2021.
Menurut ilmuwan tersebut, Danau Atmosfer juga dapat terjadi di wilayah khatulistiwa di mana kecepatan angin seringkali sangat rendah, dan kemunculan serta hilangnya pun "tidak terburu-buru". Dalam analisis data meteorologi selama lima tahun, badai paling lama bertahan di udara selama total 27 hari.
Selama lima tahun, 17 Danau Atmosfer yang bertahan lebih dari enam hari ditemukan dalam jarak 10 derajat khatulistiwa. Tampaknya fenomena ini juga dapat terjadi di daerah lain, di mana kadang-kadang berubah menjadi siklon tropis.
Saat ini sebuah tim sedang dibentuk untuk melakukan studi penuh tentang fenomena tersebut. Salah satu pertanyaan yang masih perlu dijawab oleh para peneliti adalah mengapa Danau Atmosfer melepaskan diri dari sistem cuaca yang menciptakannya. Apakah mungkin karena pola angin atmosfer secara keseluruhan, atau mungkin karena angin yang bergerak sendiri yang dihasilkan secara internal?
"Angin yang membawa hujan ke darat ini sangat menggoda untuk diteliti lebih jauh karena mendekati nol (kecepatan angin), sehingga apapun bisa mempengaruhinya. Karena itulah kita perlu tahu, apakah mereka bergerak sendiri, atau apakah mereka didorong oleh beberapa pola angin skala besar yang mungkin berubah seiring dengan perubahan iklim," kata Brian Mapes, ilmuwan atmosfer dari University of Miami yang terlibat dalam penelitian.
Menurut Mapes, meneliti Danau Atmosfer dari sisi perubahan iklim sangat penting, karena jika peningkatan suhu dengan cara apa pun dapat memengaruhi pembentukan dan pergerakan Danau Atmosfer, maka hal itu dapat memengaruhi curah hujan yang mencapai pantai timur Afrika, wilayah yang memang sangat membutuhkan hujan.
Jika air yang terkandung dalam Danau Atmosfer senilai satu tahun jika dicairkan sekaligus, lanjut Mapes, maka hal itu akan membuat genangan air hanya beberapa sentimeter, tetapi lebarnya mencapai 1 kilometer (0,62 mil).
"Itu jumlah curah hujan yang signifikan," katanya.
Langkah selanjutnya yang akan dilakukan para ilmuwan adalah mengumpulkan lebih banyak data, termasuk literatur yang terkait dengan wilayah di mana Danau Atmofer terjadi, karena kata Mapes, wilayah tersebut merupakan bagian dari dunia di mana hujan dan uap air cenderung dipelajari dari bulan ke bulan daripada hari ke hari, sehingga bisa jadi karena alasan itulah mengapa selama ini keberadaan Danau Atmosfer "terlewatkan".
"Ini adalah tempat yang rata-rata kering. Jadi, ketika (Danau Atmosfer) ini terjadi, itu pasti sangat penting," tegas dia.
Mapes berharap bahwa dia dan rekan-rekannya dapat mempelajari lebih banyak pengetahuan lokal tentang terciptanya Danau Atmosfer yang kebanyakan terjadi di daerah dengan sejarah bahari yang terhormat dan mempesona, di mana para pelaut yang jeli menciptakan kata "Monsun" untuk pola angin, dan juga memperhatikan badai hujan.
Editor : Rohman