Sawunggalih yang juga mendapat nama dari Hamengku Buwono I sebagai Tumenggung Kartowiyogo menjadi salah satu adipati yang ikut membantu kemenangan Sultan Hamengku Buwono I pada peperangan yang akhirnya menghasilkan Perjanjian Giyanti 1755. Pada Perjanjian Giyanti Kerajaan Mataram Islam terbagi dua yakni Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Raja di Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah bergelar Sunan Paku Buwono. PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) menyematkan nama Kereta Api Sawunggalih pada 31 Mei 1977. Tanggal itu adalah tanggal pertama kali dinasnya KA Sawunggalih. Adapun, lokomotif pertama yang membawa rangkaian Kereta Api Sawunggalih adalah BB 201 08 sebagai lokomotif penarik dengan kelas campuran, yaitu kelas bisnis dan ekonomi.
Pada tahun 1984 Sawunggalih menjadi kereta yang keseluruhannya kelas bisnis. Sedangkan, kereta kelas ekonominya dilayani oleh KA Kutojaya Ekonomi. Sebenarnya cikal bakal Sawunggalih telah ada sejak tahun 1964 yaitu Fajar/Senja JKA400 yang melayani rute Jakarta Kota menuju Purwokerto, Kroya, Gombong hingga Karanganyar.
Pada era 1990-an, pemerintah sedang getol melakukan peningkatan kualitas pelayanan kereta api, khususnya kelas eksekutif dan bisnis.
Pada 31 Mei 1996, diluncurkan Kereta Sawunggalih Plus relasi Gambir-Kutoarjo yang menyediakan 5 kereta kelas bisnis plus (K2 buatan 1991 dan 1996) ditambah dengan 4 kereta kelas eksekutif dan selalu ditarik oleh lokomotif dinas CC 203. Kelas bisnis plus adalah kereta kelas bisnis pada umumnya, namun di kelas bisnis plus sudah menggunakan pendingin ruangan atau Air Conditioner (AC). Uniknya, Sawunggalih Plus tidak berhenti di Stasiun Cirebon maupun Stasiun Cirebon Prujakan.
KA Sawunggalih Utama saat masih menggunakan rangkaian kelas bisnis AC. Foto: iNews Depok/Tama
Editor : Mahfud