Pada masa sebelum kemerdekaan, kehidupan rakyat sangat memprihatinkan karena kekejaman Belanda yang menerapkan sistem kerja paksa. Demikian pula saat kependudukan Jepang, warga Temanggung dipaksa menjadi Romusha. Saat itu, banyak rakyat menderita busung lapar karena sulitnya mendapat makanan.
Pada saat itu karung goni dipakai sebagai penutup tubuh menjadi pemandangan biasa pada masa Romusha, demikian mengutip tulisan Ahmad Adaby Darban, Sejarah Bambu Runcing, Laporan Penelitian: Fakultas Sastra UGM, 1988.
Parakan menjadi simpul pergerakan melawan penjajah selama masa perang kemerdekaan. Ketika Pemerintah Hindia Belanda menggunakan strategi pemisahan wilayah, berupa garis demarkasi Van Mook, warga Temanggung juga bergerak untuk melawan diskriminasi politik yang dilancarkan Hindia Belanda.
Maka saat itu terbentuklah Barisan Muslimin Temanggung (BMT) pada 30 Oktober 1945 di Masjid Kauman Parakan. Barisan ini dipelopori oleh kiai-santri, yang bertujuan untuk memobilisasi kekuatan rakyat melawan penjajah.
Muhaiminan Gunardo dalam bukunya Bambu Runcing Parakan,Yogyakarta: Kota Kembang, 1986 menulis terjadinya peristiwa Batuloyo yang mengisahkan penyerangan oleh warga Parakan yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) terhadap pasukan Jepang.
Setelah berdirinya BMT, santri-santri yang tergabung dalam barisan ini, menjadi bertambah semangat dengan dukungan kiai, terutama Kiai Subchi Parakan. Para santri BMT secara heroik menyerang patroli militer Belanda yang melintasi kawasan Parakan.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani