DEPOK, iNewsDepok.id - Senjata bambu runcing tidak bisa terlepas dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah dari Tanah Air. Ternyata di balik bambu runcing ini terdapat sosok Kiai Subchi yang namanya begitu melekat dalam sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia.
Kiai Subchi dikenal juga sebagai Kiai Bambu Runcing, karena ide sang kiai yang menyuruh para santri dan pemuda mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing.
Bambu-bambu yang ujungnya sudah diruncingkan tersebut diberi asma’ dan doa khusus, lalu dipakai laskar santri dan pemuda pejuang Indonesia dalam perjuangan mengusir penjajah.
Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya "Guruku Orang-Orang dari Pesantren".
Dijelaskan hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara sekutu juga mendarat di ibu kota Jawa Tengah.
Kiai Subchi berasal dari Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Kiai Subchi atau Subeki lahir sekitar tahun 1850, dengan nama Muhamad Benjing yang kemudian berganti menjadi Somowardoyo. Nama Subchi diketahui setelah naik haji.
Kiai Subchi adalah putra sulung seorang pemuka agama Kiai Harun Rasyid. Kakeknya Kiai Abdul Wahab, yang merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta.
Kiai Abdul Wahab ini dikenal sebagai pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam periode Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajah Belanda. Setelah Laskar Diponegoro mengalami kekalahan, Kiai Abdul Wahab menyepi di pedesaan untuk fokus mengajar para santri.
Kiai Abdul Wahab menyusuri Kali Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga singgah di kawasan Parakan. Selanjutnya, keluarga Kiai Abdul Wahab menetap di Parakan yang dikenal sebagai tempat menggembleng santri.
Dari Parakan, Kiai Abdul Wahab menyiapkan perlawanan terhadap penjajah Belanda yang masih terus mengejar sisa pengikut Pangeran Diponegoro.
Kiai Subchi lahir di masa perjuangan melawan Belanda. Saat mengandung, sang ibunda mengungsi dari kejaran pasukan Belanda. Semasa kecil, beliai dididik oleh orang tuanya dengan tradisi pesantren yang sangat kental.
Subchi kecil kemudian ikut menjadi santri di Pesantren Sumolangu yang diasuh oleh Syekh Abdurrahman Sumolangu. Selama nyantri, Subchi tumbuh menjadi pemuda dengan kepribadian kuat dengan penguasaan ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.
Parakan, kota kecil di Temanggung, tempat kelahiran Kiai Subchi, menjadi salah satu basis perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Temanggung sendiri dikenal sebagai basis pergerakan Sarekat Islam (SI).
Para santri yang tinggal di Parakan, menjadi tulang punggung kaderisasi SI. Parakan juga pernah menjadi tempat diselenggarakan Kongres Sarekat Islam, yang dihadiri oleh HOS Tjokroaminoto.
Mengutip buku Temanggung: Dewan Harian Cabang 2008 karya Husni Thamrin, pada 1913, anggota Sarekat Islam di Parakan, berjumlah 3.769 orang. Cabang SI Temanggung dibuka pada 1915, dengan jumlah anggota 4.507 orang.
Pada masa sebelum kemerdekaan, kehidupan rakyat sangat memprihatinkan karena kekejaman Belanda yang menerapkan sistem kerja paksa. Demikian pula saat kependudukan Jepang, warga Temanggung dipaksa menjadi Romusha. Saat itu, banyak rakyat menderita busung lapar karena sulitnya mendapat makanan.
Pada saat itu karung goni dipakai sebagai penutup tubuh menjadi pemandangan biasa pada masa Romusha, demikian mengutip tulisan Ahmad Adaby Darban, Sejarah Bambu Runcing, Laporan Penelitian: Fakultas Sastra UGM, 1988.
Parakan menjadi simpul pergerakan melawan penjajah selama masa perang kemerdekaan. Ketika Pemerintah Hindia Belanda menggunakan strategi pemisahan wilayah, berupa garis demarkasi Van Mook, warga Temanggung juga bergerak untuk melawan diskriminasi politik yang dilancarkan Hindia Belanda.
Maka saat itu terbentuklah Barisan Muslimin Temanggung (BMT) pada 30 Oktober 1945 di Masjid Kauman Parakan. Barisan ini dipelopori oleh kiai-santri, yang bertujuan untuk memobilisasi kekuatan rakyat melawan penjajah.
Muhaiminan Gunardo dalam bukunya Bambu Runcing Parakan,Yogyakarta: Kota Kembang, 1986 menulis terjadinya peristiwa Batuloyo yang mengisahkan penyerangan oleh warga Parakan yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) terhadap pasukan Jepang.
Setelah berdirinya BMT, santri-santri yang tergabung dalam barisan ini, menjadi bertambah semangat dengan dukungan kiai, terutama Kiai Subchi Parakan. Para santri BMT secara heroik menyerang patroli militer Belanda yang melintasi kawasan Parakan.
Perjuangan BMT dan dukungan Kiai Subchi memancing perhatian pejuang santri dan militer. Para tokoh menemui Kiai Subchi dan pemuda BMT di Parakan.
Para tokoh tersebut di antaranya Jenderal Soedirman (1916-1950), Kiai Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Zaenal Arifin (Hizbullah), Kiai Masykur (Sabilillah), Kasman Singadimedja (Jaksa Agung), Mr Mohammad Roem, Mr. Wangsanegara, Mr. Sujudi, Roeslan Abdul Gani dan beberapa tokoh lainnya.
Bahkan, Jenderal Sudirman berkunjung ke kediaman Kiai Subchi untuk meminta doa berkah. Karena itu, Jenderal Sudirman sering berperang dalam keadaan suci untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi.
Ketika barisan kiai mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, Kiai Subchi turut serta mendirikan NU Temanggung. Kiai Subchi menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris.
Kiai Subchi juga sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi. Saat Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung pada 1941, Kiai Subchi langsung memantai.
Berdasarkan catatan Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), Kiai Subchi menjadi rujukan laskar-laskar yang berjuang di garda depan revolusi kemerdekaan.
Di sisi lain, Kiai Subchi dikenal sebagai seorang yang murah hati, suka membantu warga sekitar yang kekurangan dengan membagikan hasil pertanian dan lahan kepada warga yang tidak mampu.
Beliau juga dikenal sebagai sosok sederhana, zuhud dan sangat tawadhu. Ketika banyak pemuda pejuang yang sowan untuk minta doa dan asma', Kiai Subchi justru menangis tersedu karena merasa tidak pantas dengan maqam tersebut.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 349) menyebut ketika Kiai Subchi sudah berumur 90 tahun, pergerakannya masih cekatan, badannya tegap, besar dan tinggi, serta pendengaran dan penglihatannya masih sangat jelas.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani