JAKARTA, iNewsDepok.id - Masih di sekitar Kota Tua Jakarta, kami bercerita tentang sejarah masa lalu, khususnya era kolonialisme Belanda di Indonesia. Era penjajahan itu sangat berdampak bagi Christa Noella Wongsodikromo, salah satu keturunan warga diaspora tiga negara.
Lalu lalang warga Jakarta saat itu tanpa henti, menikmati tiap sudut bangunan peninggalan kolonial Belanda. Bagi Christa yang selama ini tinggal di Leiden, Belanda, gaya arsitektur bangunan semacam itu sudah biasa.
Tak terasa langkah kaki kami sudah berjalan cukup jauh di sekitar Taman Sari, Jakarta Barat. Menyusuri tiap sudut bangunan era kolonial.
Keringat perlahan mengucur, hingga kami sedikit mengeluh kegerahan.
"Kalian suka mengeluhkan cuaca yang panas, dan menginginkan yang sejuk atau dingin. Padahal banyak orang-orang Eropa yang sangat menikmati suasana gerah seperti ini," ujar Christa di sela obrolan.
Di Jalan Kali Besar Timur, Taman Sari, Jakarta Barat, kami beristirahat sejenak di tepian sungai. Tepatnya berada di seberang gedung Chartered Bank of India, Australia, and China.
Christa menikmati senja di seberang bangunan kolonial, gedung Chartered Bank of India, Australia, and China, Minggu (13/11/2022). Tama iNews Depok.
Bangunan tua ini mulai dibangun pada Februari 1921. Gedung Chartered Bank tersebut didirikan oleh arsitek Amsterdam, Eduard Gerard Hendrik Hubert Cuypers, yang merupakan keponakan dari Piere Cuypers arsitek tersohor Belanda.
Kepada iNews Depok, Christa kembali bercerita tentang penelusuran jejak masa lalu keluarganya. Baginya bukan hal yang mudah menjawab teka-teki sejarah keluarganya yang hilang.
Awal mulanya, salah satu kakek Christa bercerita tentang generasi keluarganya yang masih tersisa di Jawa Tengah (Jateng). Namun mereka sadar, jarak antara Suriname dan Indonesia sangat jauh.
Hingga pada suatu waktu, paman Christa menceritakan bahwa keluarganya masih memiliki turunan, generasi keluarga Wongsodikromo yang berada di Indonesia.
"Saudara kembar ayahku (paman) mencari jejak sejarah keluarga dari ayah Christa. Oleh karena itu, aku juga mencari jejak keluarga, hingga aku datang ke Indonesia," kata Christa kepada iNews Depok, Minggu (23/11/2022).
Berbagai cara dilakukan Christa untuk mencari informasi tentang jejak keluarganya yang berada di Indonesia. Dengan sabar ia mengumpulkan tiap informasi dan menyatukannya, hingga ia menemukan titik terang.
Christa (Tengah) bersama keluarga di Wonogiri, Jateng. (Ist)
Christa juga memanfaatkan jaringannya di bidang sejarah kolonial Suriname-Belanda-Indonesia. Ia juga aktif mencari daftar dan asal orang-orang Jawa yang dikirim ke Suriname di era penjajahan Belanda.
Pada tahun 2015, Christa datang ke Indonesia pertama kali hanya bermodalkan dokumen berupa foto kakek buyutnya. Layaknya penyidik kepolisian, ia selalu menggali informasi dan bukti tentang jejak keluarganya yang hilang.
Setibanya di Indonesia, ia mendatangi banyak museum tentang sejarah bangsa. Tidak cukup puas, Christa juga meminta bantuan ke beberapa mahasiswa Suriname yang ada di Indonesia.
"Inilah perjalanan yang selalu terngiang selama ini dan karena itulah ini menjadi perjalanan pertama kami untuk kembali. Saat itu aku masih tak percaya, tetapi jika kesempatan datang, kami tak akan ragu. Sekaranglah waktunya," ujar Christa.
Namun malang bagi Christa, kedatangan pertamanya ke Indonesia saat itu belum bisa menjawab di mana keluarganya yang hilang berada. Hingga memaksanya untuk kembali pulang ke Belanda.
Christa tetap menggali informasi di negeri kincir air. Hingga pada tahun 2019, berkat kesabaran dalam pencarian dan penantian, apa yang diusahakannya membuahkan hasil.
Christa (baju hitam) bersama keluarga di Wonogiri, Jateng. (Ist)
Seseorang mengabarinya, bahwa jejak keluarganya yang terpisah itu berada di Wonogiri, Jateng. Tanpa pikir panjang ia bergegas terbang menuju Jakarta.
Dengan bantuan temannya yang merupakan mahasiswa Suriname yang sedang menuntut ilmu di Indonesia, akhirnya Christa tiba di salah satu desa di Pracimantoro, Wonogiri, Jateng.
"Setelah lama masa pencarian. Generasi pertama keluargaku masih tinggal bersama di sana (Wonogiri). Dengan jarak yang terpisah, melintasi beberapa benua, akhirnya kami bisa disatukan," kata Christa.
"Merasa senang bisa menyatukan kembali, bertemu dengan generasi keluarga buyutku. Meskipun jarak memisahkan dari Indonesia, Suriname dan Belanda. Kita bisa terhubung kembali," imbuhnya.
Christa mengaku sangat beruntung, pertalian saudara itu kembali tersambung.
"Sebagai orang (keturunan) Jawa Suriname, saya ‘beruntung’ masih mengenali di mana keluarga kami tinggal di Jawa," kata wanita kelahiran Belanda tersebut.
Walaupun secara kasat mata terlihat asing, pertemuan Christa dengan keluarganya di Wonogiri tersebut, terasa begitu dekat.
"Mereka sangat baik dan ramah, benar-benar menganggap ku sebagai keluarga. Begitu juga lingkungan tetangganya, sangat ramah," ujar Christa.
Bahkan mereka juga tidak mempermasalahkan latar belakang Christa yang berbeda, dari mana dirinya berasal. Pertemuan haru itu menjadi titik balik Christa mengingat jalan pulang.
Dari pertemuan itu, Christa banyak belajar sejarah masa lalu. Betapa kelamnya penjajahan di era kolonial Belanda, yang mengakibatkan pertalian saudara terputus.
Christa mengaku bersedih, penderitaan yang tak pernah hilang ditelan waktu. Kembali ke tanah Jawa adalah hal yang tak mampu dilakukan para buyutnya saat itu.
Ia juga merasakan pedihnya keluarga di Jawa harus dipisahkan oleh jarak, hingga sebagian keluarganya dikirim ke Suriname.
Mereka tak pernah benar-benar pamit. Ketika dibawa oleh penjajah Belanda, mereka tak tahu akan ke mana dan tak tahu bahwa mereka tak akan pernah kembali, hingga mereka harus tinggal di Suriname.
Setelah pertemuan tahun 2019, Christa belum sempat mengunjungi keluarganya lagi di Wonogiri, lantaran pandemi Covid-19 yang cukup panjang. Hingga akhirnya tahun 2022 kali ini, Christa akan kembali 'pulang' ke tanah leluhurnya.
Untuk mengenang leluhurnya, Christa juga menambahkan 'Wongsodikromo' di akhir namanya. Dan ia tambah senang, ketika pemerintah Belanda merestui nama barunya di tanggal 15 September tahun ini, bertepatan dengan tanggal kakek buyutnya tiba di Suriname.
"Secara legal aku bisa menggunakan nama Wongsodikromo, nama dari generasi pertama kakek buyutku pada tanggal 15 September, bertepatan dengan kakek buyutku tiba di Suriname," kata Christa.
Pencarian keluarganya yang hilang bagi Christa memberi pelajaran dalam yang begitu berarti.
Disinggung untuk pindah kewarganegaraan Indonesia, Christa menginginkannya. Namun ia masih menimbang banyak hal untuk itu.
"Yang pasti saya tak bisa terpisahkan dengan Indonesia. Untuk hal itu, saya harus banyak belajar banyak untuk mengambil langkah pindah kewarganegaraan," ujar wanita yang menggemari masakan Padang.
Christa mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang membantunya dan keluarganya di Wonogiri. Bahkan dalam unggahan di akun Facebook-nya, ia sempat mengutarakannya dengan Bahasa Jawa.
"Matur nuwun, aku bakal bali menyang tanah leluhur (Terimakasih, aku akan pulang ke tanah leluhur)," tulis Christa. (TAMAT)
Kisah sebelumnya baca di SINI
Editor : M Mahfud