"Keluarga saya (ayah ibu) berasal dari Suriname, keluarga saya (kakek) saat itu tahun 1930 dibawa secara paksa oleh pemerintahan kolonial Belanda. Mereka dahulu dipekerjakan sebagai pekerja perkebunan Belanda," kata Christa kepada iNews Depok.
Christa juga menceritakan betapa kejamnya Pemerintah Belanda pada saat itu kepada warga Indonesia yang dikirim ke Suriname yang juga merupakan wilayah jajahan Belanda pada saat itu.
"Kakek buyut saya diculik dan diperdagangkan dari Indonesia ke Suriname oleh Belanda," imbuhnya.
Dari penuturan keluarganya, Christa mengaku kehidupan di Suriname saat itu sangat keras. Kakek buyutnya bersama rekan lainnya dilarang keras oleh Belanda untuk menjalankan keyakinan dan budayanya.
"Di Suriname mereka tinggal di sekolah asrama. Mereka harus pindah agama, berintegrasi, agar anak-anaknya bisa sekolah. Mereka menyebutnya 'sekolah asrama' untuk masyarakat Jawa yang tinggal di Suriname," kata Christa.
"Kehidupan di asrama sangat keras. Segala yang menyangkut budaya Jawa diejek dan harus dihapus. Semua hal di luar dari budaya barat, dianggap tak beradab," imbuhnya.
Tidak jarang, jika penghuni asrama pada saat itu sering dihukum oleh penjaga, bila tetap melakukan tradisi sebelumnya di asrama.
"Bahkan bila mereka ketahuan melakukan percakapan atau memperkenalkan budaya Jawa, mereka akan dipukul di bagian belakang," ujar perempuan kelahiran Belanda.
Christa mengaku, masa kehidupan kakek buyutnya sangat penuh tekanan. Bahkan Pemerintah Belanda sendiri yang memberikan nama 'Wongsodikromo' kepada kakek buyutnya.
Editor : M Mahfud