get app
inews
Aa Read Next : Ada 9 Jenis Harimau di Indonesia, Sebagian Sudah Punah

Christa Wongsodikromo: Tiap Kali Gunakan Budaya Jawa, Kakeknya Digetok Belanda di Suriname (1)

Rabu, 16 November 2022 | 10:25 WIB
header img
Christa Wongsodikromo, WN Belanda keturunan Jawa-Suriname tengah berada di Indonesia untuk mengobati kerinduan kakek buyutnya asal Wonogiri Jawa Tengah yang diculik Belanda dan dijadikan budak perkebunan di Suriname. Foto: Tama/iNews Depok.

JAKARTA, iNewsDepok.idChrista Wongsodikromo (29 tahun) seorang Warga Negara Belanda keturunan Suriname Jawa. Ia menempuh perjalanan ke Indonesia untuk mengobati luka leluhurnya yang diculik Belanda untuk dijadikan budak perkebunan di Suriname, Amerika Selatan tahun 1930. 

Christa adalah generasi keempat keturunan Jawa-Suriname.  iNews Depok bertemu dengan Christa di kawasan wisata Kota Tua, Tamansari, Jakarta Barat, Minggu (13/11/2022).

Ia ditemani rekan Indonesianya sesama wanita, Vanial Aulia Kurniawan. Di kawasan wisata Kota Tua Jakarta inilah, ia bisa merasakan jejak Belanda di Indonesia. Jejak yang mengingatkan padanya akan kekejaman Belanda menculik leluhurnya dan dipaksa menjadi budak perkebunan di Suriname, negara di Benua Amerika, bekas jajahan Belanda.

Christa dilahirkan dari seorang ibu yang berasal dari Belanda  di Belanda pada 25 Desember 1993. Ayahnya berdarah  Suriname Jawa. Ia hingga kini menyandang nama leluhurnya yang merupakan orang Jawa, Wongsodikromo.

Kulitnya tak beda jauh dengan orang Indonesia kebanyakan, kecoklatan. Hanya postur dan wajahnya mewarisi ibunya dari Belanda. 

Para pedagang di Glodok tak mengenalinya sebagai orang Belanda. Para pedagang menawari barang dagangannya ke Christa dalam bahasa Indonesia. Padahal Christa tak bisa bahasa Indonesia dan Jawa.

Perjalanan dilanjutkan ke selasar pusat kuliner Tionghoa di Pecinan Glodok. Karena kebetulan Christa juga menyukai kopi, kami bertiga melangkahkan kaki ke Kedai Es Kopi Tak Kie yang terkenal legendaris berjualan sejak tahun 1927.

"Gimana kalau kita ngopi di Kedai Tak Kie aja," ujar Vanial yang rupanya juga memiliki garis keturunan Tionghoa.

Namun malang, setibanya langkah kaki terhenti di depan kedai. Warung kopi legendaris itu rupanya tutup. Hingga akhirnya kami memilih warung kopi di tepi jalan.

Perjalanan sekitar 500 meter membuat kami sedikit gerah dan haus. Hal itu juga dirasakan Christa, yang terbiasa dengan cuaca di Eropa.

Obrolan kami bertiga tidak banyak hanya sebatas perkenalan dan pandangan Christa tentang kehidupan di Indonesia. Sekitar 30 menit kami berbincang di warung kopi di tepi jalan, kita melanjutkan berwisata kuliner di sekitaran Jalan Asemka, Tamansari, Jakbar.

Kami memilih kuliner soto daging khas yang berada di sekitar Pasar Asemka. Rasa lapar rupanya terpancar dari tiap lahapnya, setelah berjalan kaki.

"Setelah makan bagaimana kalau kita melanjutkan ke Museum Kota Tua, dengan naik bajaj? Si Christa belum pernah naik bajaj," ujar Vanial yang merupakan lulusan jurusan pendidikan di Universitas Pamulang.

"Apa itu bajaj, apakah itu angkot?" tanya Christa.

Maklum saja, meski hanya hitungan seratus meter. Kami memutuskan menaiki bajaj untuk mengobati rasa penasaran Christa. Dan Vanial membantu menjelaskan perbedaan bajaj dan angkot.

Luka Masa Lalu

Setibanya di kawasan Kota Tua, Christa mulai bercerita tentang masa lalu keluarganya yang terpisah  selama 89 tahun lamanya.

Kepada iNews Depok, Christa bercerita tentang kakek buyutnya yang saat itu dipindahkan secara paksa oleh pemerintahan kolonial Belanda dari Indonesia ke Suriname, dan dipekerjakan sebagai budak perkebunan milik Belanda di Suriname.

"Keluarga saya (ayah ibu) berasal dari Suriname, keluarga saya (kakek) saat itu tahun 1930 dibawa secara paksa oleh pemerintahan kolonial Belanda. Mereka dahulu dipekerjakan sebagai pekerja perkebunan Belanda," kata Christa kepada iNews Depok.

Christa juga menceritakan betapa kejamnya Pemerintah Belanda pada saat itu kepada warga Indonesia yang dikirim ke Suriname yang juga merupakan wilayah jajahan Belanda pada saat itu.

"Kakek buyut saya diculik dan diperdagangkan dari Indonesia ke Suriname oleh Belanda," imbuhnya.

Dari penuturan keluarganya, Christa mengaku kehidupan di Suriname saat itu sangat keras. Kakek buyutnya bersama rekan lainnya dilarang keras oleh Belanda untuk menjalankan keyakinan dan budayanya.

"Di Suriname mereka tinggal di sekolah asrama. Mereka harus pindah agama, berintegrasi, agar anak-anaknya bisa sekolah. Mereka menyebutnya 'sekolah asrama' untuk masyarakat Jawa yang tinggal di Suriname," kata Christa.

"Kehidupan di asrama sangat keras. Segala yang menyangkut budaya Jawa diejek dan harus dihapus. Semua hal di luar dari budaya barat, dianggap tak beradab," imbuhnya.

Tidak jarang, jika penghuni asrama pada saat itu sering dihukum oleh penjaga, bila tetap melakukan tradisi sebelumnya di asrama.

"Bahkan bila mereka ketahuan melakukan percakapan atau memperkenalkan budaya Jawa, mereka akan dipukul di bagian belakang," ujar perempuan kelahiran Belanda.

Christa mengaku, masa kehidupan kakek buyutnya sangat penuh tekanan. Bahkan Pemerintah Belanda sendiri yang memberikan nama 'Wongsodikromo' kepada kakek buyutnya.

Kehidupan di asrama itu memaksa para penghuninya untuk melupakan sejarah budayanya dari mana mereka berasal. Kisah masa lalu keluarganya itu, membuat Christa membenci penjajahan kolonial.

"Di sekolah asrama, para murid diajari seperangkat nilai yang sangat berbeda dengan apa yang mereka pelajari di rumah dengan budaya Jawa dan itu bertabrakan. Banyak keturunan Jawa di sekolah tersebut punya masalah sosial. Itulah tanda gegar budaya. Inilah akibat penjajahan," tegasnya.

Oleh sebab itu, hingga saat ini ia sangat aktif memperjuangkan nasib korban di era kolonial Belanda. Dalam kehidupannya di negeri kincir air, Christa Wongsodikromo pernah menjadi sekretaris Komite Reparasi Indonesia (Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda) dan telah menjadi kontributor penting untuk desain ulang program studi Belanda dan dosen pakar tamu di University of Michigan. (Bersambung)
 

Editor : Mahfud

Follow Berita iNews Depok di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut