DEPOK, iNewsDepok.id - Islam mengajarkan umatnya agar selalu menjaga kebersihan, karena kerbersihan bukan hanya salah satu cara untuk hidup sehat, tetapi karena Allah SWT sangat menyukai kebersihan.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Tarmizi, Rasulullah SAW bersabda yang artinya; "Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu".
Sementara itu dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Muslim, Aisyah Radhiallahu Anha mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya; "Agama itu dibangun berasaskan kebersihan.
Banyak cara untuk menjaga kebersihan. Terkait dengan diri kita, salah satu yang harus dilakukan adalah mandi.
Dalam ajaran Islam, ada dua jenis mandi, yakni mandi wajib dan mandi sunnah. Apakah Anda sudah tahu mandi apa saja yang disunnahkan?
Mandi sunnah adalah mandi yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, tetapi jika tidak pun tidak apa-apa karena tidak ada celaan atau siksaan terhadapnya.
Apa sajakah mandi yang disunnahkan itu? Berikut penjelasannya:
1. Mandi Jum’at
Untuk mandi yang satu ini ulama masih terpecah pada dua pendapat, yakni ada yang mewajibkan, tetapi ada yang menyunnahkan. Karenanya, mandi Jum'at sebaiknya tidak ditinggalkan, karena ini pilihan yang lebih selamat ketika menghadapi perselisihan ulama.
Ulama yang berpendapat bahwa mandi Jum’at adalah sunnah bersandarkan pada dalil yang artinya: "Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An Nasai no. 1380, At Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091). Hadits ini diho’ifkan oleh sebagian ulama. Sebagian lagi menshahihkannya semacam Syaikh Al Albani rahimahullah..
Meski demikian yang harus diketahui adalah bahwa mandi Jum'at bukan syarat sahnya salat Jum’at sebagaimana dinyatakan oleh Al Khottobi dan selainnya bahwa para ulama sepakat (berijma’) bahwa mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya salat Jum’at, dan salat itu tetap sah walaupun tanpa mandi Jum’at.
Mandi Jum’at disyari’atkan bagi orang yang mengikuti salat Jum’at, bukan karena hari tersebut adalah hari Jum’at, sehingga wanita atau anak-anak yang tidak punya kewajiban untuk salat Jum’at, tidak terkena perintah ini.
Sebagaimana dinukil dari Al Fath, Az Zain bin Al Munir berkata, “Telah dinukil dari Imam Malik bahwa siapa saja yang menghadiri salat Jum’at selain pria, jika ia menghadirinya dalam rangka mengharap keutamaan, disyari’atkan baginya mandi dan adab-adab di hari Jum’at lainnya, akan tetapi jika menghadirinya cuma kebetulan saja, seperti ini tidak disyari’atkan”.
Selain itu, dalam hadits Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya; "Barangsiapa menghadiri salat Jum’at, baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan yang tidak menghadirinya –baik laki-laki maupun perempuan-, maka ia tidak punya keharusan untuk mandi”. (HR. Al Baihaqi, An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih).
An Nawawi rahimahullah menganjurkan agar mandi Jum'at dilakukan setelah terbit fajar atau setelah masuk waktu subuh, karena jika mandi Jum'at dilakukan sebelum fajar atau sebelum subuh, maka maka mandi Jum’atnya tidak sah. Pendapat ini dikuatkan.oleh mayoritas ulama, tetapi Al Auza’i mengatakan, mandi Jum'at sebelum fajar adalah sah, sementara Imam Malik berpendapat bahwa mandi Jum’at tidak sah kecuali dilakukan ketika hendak berangkat salat Jum’at.
2. Mandi Hari Raya
Mandi hari raya yang dimaksud adalah Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Dalil tentang hal ini adalah hadits sahabat Al Faakih bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu yang artinya; "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mandi di hari Idul Fithri, Idul Adha dan hari Arafah”, dan Al Faakih sendiri selalu memerintahkan keluarganya untuk mandi pada hari-hari itu” (HR. Ibnu Majah no. 1316)
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga sama. Beliau berkata yang artinya; "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Ibnu Majah no. 1315)
3. Mandi Ketika Ihrom Untuk Haji atau Umroh.
Mandi ini disunnahkan antara lain berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, yang artinya; “Ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas pakaian Beliau yang dijahit, lalu beliau mandi.” Abu Isa At Tirmidzi berkata, “Ini merupakan hadits hasan gharib. Sebagian ulama menyunahkan mandi pada waktu ihram. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.” (HR. Tirmidzi no. 830. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Anjuran untuk mandi ketika ihrom ini adalah pendapat mayoritas ulama.
4. Ketika Masuk Mekkah.
Mandi ketika memasuki Mekkah dianjurkan berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Nafi’ yang artinya; "Ibnu Umar tidak pernah memasuki kota Makkah kecuali ia bermalam terlebih dahulu di Dzi Thuwa sampai waktu pagi datang. Setelah itu, ia mandi dan baru memasuki kota Makkah pada siang harinya. Ia menyebutkan bahwa hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau melakukannya.” (HR. Muslim no. 1259)
An Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ulama Syafi’iyah mengatakan, “Mandi ketika memasuki Mekkah adalah mandi yang disunnahkan. Jika tidak mampu melakukannya, maka diperkenankan dengan tayamum.”
Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah, Ibnul Mundzir mengatakan, “Mandi ketika memasuki Mekkah disunnahkan menurut kebanyakan ulama. Jika tidak dilakukan, tidak dikenai fidyah ketika itu. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa mandi ketika itu bisa pula diganti dengan wudhu".
5. Mandi ketika sadar dari pingsan.
Mandi ketika seseorang sadar dari pingsan dianjurkannya berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits yang cukup panjang.
Dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Aku masuk menemui ‘Aisyah aku lalu berkata kepadanya, “Maukah engkau menceritakan kepadaku tentang peristiwa yang pernah terjadi ketika Rasulullah SAW sedang sakit?” ‘Aisyah menjawab, “Ya. Pernah suatu hari ketika sakit Nabi SAW berat, beliau bertanya: “Apakah orang-orang sudah salat?” Kami menjawab, “Belum, mereka masih menunggu tuan.” Beliau pun bersabda, “Kalau begitu, bawakan aku air dalam bejana.” Maka kami pun melaksanakan apa yang diminta beliau. Beliau lalu mandi, lalu berusaha berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan. Ketika sudah sadarkan diri, beliau kembali bertanya, “Apakah orang-orang sudah salat?” Kami menjawab, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri kembali, beliau berkata, “Apakah orang-orang sudah salat?” Kami menjawab lagi, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh dan pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri, beliau pun bersabda, “Apakah orang-orang sudah salat?” Saat itu orang-orang sudah menunggu Nabi SAW di masjid untuk salat ‘Isya di waktu yang akhir. (HR. Bukhari no. 687 dan Muslim no. 418)
An Nawawi menjelaskan, “Hadits ini adalah dalil disunnahkannya untuk mandi setelah sadar dari pingsan. Jika pingsan tersebut terjadi berulang kali, maka mandi pun dianjurkan berulang kali. Namun, jika ia baru mandi setelah beberapa kali pingsan, maka itu pun boleh dengan cukup sekali mandi".
6. Mandi Ketika Ingin Mengulangi Jima’ (bersenggama dengan istri)
Mandi ini dianjurkan berdasarkan hadits Abu Rofi’ radhiyallahu ‘anhu yang artinya; "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya mandi ketika ingin mengulangi senggama dengan istri. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya, tetapi ketika ingin mengulangi senggama cukup dengan berwudhu saja, itu dibolehkan. Sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id, Rasulullah SAW yang artinya; "Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim No. 308)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Semua hadits ini menunjukkan bahwa boleh bagi seseorang yang dalam keadaan junub untuk tidur, makan, minum, dan kembali bersenggama dengan istrinya sebelum ia mandi. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. Para ulama pun sepakat bahwa badan dan keringat orang yang junub itu suci. Namun untuk melakukan hal-hal tadi dianjurkan untuk berwudhu dengan mencuci kemaluan (lebih dulu)".
7. Mandi Setiap Kali Salat Bagi Wanita Istihadhoh.
Mandi ini disunnahkan berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata; "Ummu Habibah mengeluarkan darah istihadhah (darah penyakit) selama tujuh tahun. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang masalah itu. Beliau lalu memerintahkan kepadanya untuk mandi, beliau bersabda, “Ini akibat urat yang luka (darah penyakit).” Maka Ummu Habibah selalu mandi untuk setiap kali saalat.” (HR. Bukhari no. 327 dan Muslim no. 334)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Nabi SAW memerintahkan Ummu Habibah untuk mandi, lalu salat. Namun mandi setiap kali salat untuknya hanyalah sunnah (tidak sampai wajib)”. Demikian pula dikatakan oleh Al Laits bin Sa’ad dalam riwayatnya pada Imam Muslim, di sana Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ummu Habibah untuk mandi setiap kali shalat. Namun Ummu Habibah saja yang melakukannya setiap kali shalat.
Mayoritas ulama berpandangan bahwa wanita istihadhoh tidak wajib mandi untuk setiap kali salat. Di antara alasannya disampaikan oleh Al Muhallab bahwa darah istihadhoh adalah darah penyakit (akibat urat yang luka) sehingga tidak menyebabkan wajib mandi Sudah barang tentu jika setiap kali salat diwajibkan untuk mandi, maka ini adalah sesuatu yang teramat sulit.
8. Mandi Setelah Memandikan Jenazah
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda yang artinya; "Setelah memandikan jenazah, maka hendaklah mandi dan setelah memikulnya, hendaklah berwudhu.” (HR. Tirmidzi no. 993. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam lafazh lain yang artinya; "Barangsiapa memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi. Barangsiapa yang memikulnya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 3161. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits ini dikatakan sebagai hadits mudhthorib yang didho’ifkan oleh ulama pakar hadits semacam Ibnul Madini, Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Yahya, Asy Syafi’i, Ibnul Mundzir, Al Baihaqi dan selainnya.
Ada penjelasan menarik dari Abu Isa At Tirmidzi berikut ini.
(Abu Isa At Tirmidzi) berkata, “Hadits semakna diriwayatkan dari Ali dan ‘Aisyah.” Abu ‘Isa berkata, “Hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan. Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mauquf (cuma perkataan Abu Hurairah).
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang memandikan mayit. Sebagian mereka dari kalangan sahabat Nabi SAW dan yang lainnya berpendapat, “Jika dia memandikan mayit maka dia wajib mandi”. Dan sebagian mereka berpendapat, “Dia hanya wajib berwudhu.”
Malik bin Anas berkata, “Saya lebih suka mandi setelah memandikan mayit, namun tidak menganggapnya wajib.” Demikian juga pendapat Imam Asy Syafi’i. Imam Ahmad berkata, “Seorang yang telah memandikan mayit, aku berharap dia tidak wajib untuk mandi, namun minimal dia berwudlu.” Ishaq berkata, “Dia wajib berwudlu.”
Editor : Rohman