JAKARTA, iNewsDepok.id - Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma, mengkritik anggota Fraksi PDIP DPR RI Effendi MS Simbolon yang menuding Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menggunakan fasilitas, bahkan institusi DPD RI, untuk memperjuangkan kepentingan politiknya sendiri.
Effendi bahkan menilai, LaNyalla telah membuat hubungan DPR dan DPD RI memanas.
"Pernyataan Effendi Simbolon itu tendensius, tidak berdasar dan mengabaikan fakta tentang buruknya kinerja DPR selama ini," kata Lieus seperti dikutip dari siaran tertulisnya, Selasa (5/7/2022).
Lebih jauh, Lieus mengatakan kalau Efendi Simbolon telah mengingkari realitas politik yang ada hari ini, karena jika DPR benar-benar menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat dan pengawas kinerja eksekutif (pemerintah), pastilah kondisi serba sulit yang dihadapi rakyat sekarang ini tidak terjadi.
"Mestinya DPR yang instropeksi diri,” kecam Lieus.
Untuk diketahui, pada Kamis (30/5/2022), kepada wartawan Effendi Simbolon mengatakan bahwa LaNyalla telah menggunakan DPD RI untuk kepentingan politik pribadinya agar bisa nyapres di 2024.
“Kemana-mana bicara politik atas nama DPD RI, itu tidak boleh. Misalnya, gugat presidential threshold (PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dihapus menjadi nol persen. Itu kan untuk kepentingan pribadinya agar bisa nyapres 2024. Itu tidak boleh,” katanya.
Politisi PDIP itu mengatakan, akibat apa yang dilakukan LaNyalla itu, bukan hanya membuat banyak masyarakat bereaksi, tetapi juga membuat hubungan antara DPR dengan DPD memanas.
Hingga hari ini LaNyalla sendiri belum menanggapi pertanyaan Effendi Simbolon itu, tetapi seperti diketahui, LaNyalla memang terkesan sangat responsif terhadap adanya tuntutan agar PT 20% sebagaimana diatur pada pasal 222 UU Pemilu, dihapuskan, sehingga pada Maret 2022 lalu dia juga mengajukan permohonan yang sama atas nama institusi DPD RI yang dipimpinnya, karena PT 20% diyakini bukan hanya berpotensi menyuburkan oligarki, tetapi juga menutup peluang putra bangsa terbaik untuk dapat memimpin negara.
Sebab, dengan PT 20%, hanya partai atau gabungan partai yang memiliki 20% kursi di DPR yang dapat mengusung calon di Pilpres, sehingga putra-putra terbaik bangsa yang bukan kader partai tersebut sulit untuk ikut berkontestasi di Pilpres. Masalah ini berkorelasi dengan sistem demokrasi liberal yang saat ini dianut Indonesia, karena sistem yang memicu biaya tinggi itu membuat pengusaha-pengusaha dan pemilik modal yang kemudian tergabung dalam sebuah kelompok dan disebut oligarki, memiliki peranan yang sangat penting dalam setiap kontestasi, karena mereka menjadi penyumbang biaya kampanye para calon, dan sumbangan itu tentunya tidak gratis.
Maka, jika oligarki tidak menginginkan figur seseorang, bisa dipastikan figur itu tidak akan dipilih Parpol atau gabungan Parpol yang memiliki minimal 20% kursi di DPR dan memiliki hak untuk mengusung calon di Pilpres.
Lieus mengatakan, sejauh ini dia tidak melihat ada yang salah dari apa yang dilakukan LaNyalla dalam kapasitasnya sebagai ketua DPD RI. Ia bahkan mengapresiasi tindakan LaNyalla turun ke daerah-daerah dan menggugat PT 20% ke MK, karena DPD merupakan institusi negara yang berisi perwakilan masyarakat dari daerah-daerah, bukan perwakilan Parpol sebagaimana anggota DPR RI.
“Jadi, apa salahnya anggota DPD berkunjung dan menyerap aspirasi masyarakat di daerah-daerah?” tanya Lieus.
Ia bahkan menilai, tindakan DPD mengajukan JR pasal 222 UU Pemilu ke MK, merupakan bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional LaNyalla sebagai ketua DPD, agar negeri ini tidak semakin terpuruk dalam kungkungan oligarki.
“Sekali lagi saya katakan, mestinya anggota DPR RI itu instrosperksi diri. Sebagai wakil rakyat, apa yang sudah mereka lakukan untuk mengurangi beban hidup rakyat yang semakin berat sekarang ini?” tanya Lieus lagi.
Ia mengingatkan Effendi tentang tugas dan wewenang DPD sebagaimana diatur dalam pasal 22D UUD 1945, yaitu:
- Berwenang dalam pengajuan Rancangan Undang-undang atau RUU tertentu;
- Berwenang untuk ikut membahas bersama DPR dan pemerintah atas penyusunan RUU tertentu;
- Berwenang memberikan pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu; dan
- Berwenang memberikan pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang atau UU tertentu.
“Jadi, jika mengacu pada Tupoksi dan kewenangan DPD seperti yang diatur dalam pasal 22D UUD 1945 itu, semua yang dilakukan LaNyalla selama ini tidak ada yang menyimpang dan melanggar UU,” tegas Lieus.
Editor : Rohman