DEPOK, iNewsDepok.id - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menemukan hal menarik pada putusan MK Nomor 52/PUU-XX/2022 yang berisi penolakan atas permohonan judicial review (JR) terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang presidential threshold 20%.
Pemohon JR tersebut adalah dirinya atas nama DPD RI, dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.
Temuan itu membuat LaNyalla menilai kalau putusan itu merupakan kejahatan yang sesungguhnya terhadap rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah di Indonesia.
"Ada yang menarik jika kita cermat membaca kalimat demi kalimat dalam putusan tersebut," kata LaNyalla melalui pernyataan tertulis, Jumat (8/7/2022), yang diteruskan Lieus Sungkharisma kepada wartawan.
Ketua DPD itu saat ini sedang menunaikan ibadah haji di Mekah, dan pernyataan itu ditulis saat LaNyalla akan melakukan wuquf.
LaNyalla menyebut, hal menarik tersebut berada di halaman 74, di mana di situ tertulis salah satu pertimbangan majelis hakim terkait materi gugatan.
Berikut pertimbangan dimaksud:
"Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi".
Menurut LaNyalla, pertimbangan MK itu menunjukkan kalau oligarki itu ada dan nyata.
"Tetapi menurut MK, tidak ada jaminan mereka akan hilang dengan dihapusnya Pasal 222 itu. Jadi, artinya dibiarkan saja seperti ini; oligarki tetap ada dan polarisasi yang merugikan masyarakat tetap ada," kata LaNyalla.
Ia pun menjadi tidak heran mengapa gugatan dirinya dan tokoh-tokoh lain yang juga pernah menggugat pasal 222 UU Pemilu, termasuk Lieus dan Yusril Ihza Mahendra, juga puluhan elemen masyarakat yang lain dengan semangat untuk meminimalisir kerugian rakyat yang timbul akibat pasal tersebut, ditolak MK, karena bagi MK tidak ada jaminan dengan dihapusnya Pasal 222 itu, maka kerugian yang dialami rakyat akibat adanya oligarki dan polarisasi, akan hilang.
"Jadi, dengan kata lain, apakah bisa dibuat dalam kalimat; biar saja kerugian itu terus dirasakan rakyat?" tanya LaNyalla.
Mantan ketua umum PSSI itu mengaku dapat memahami mengapa banyak tokoh, termasuk Yusril Ihza Mahendra, menyebut bahwa MK bukan lagi menjadi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy.
"Saya hanya mengingatkan kita semua bahwa terbentuknya negara ini memiliki tujuan, dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita di mana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya. Hingga pada ujungnya adalah terciptanya tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut LaNyalla, dibuatlah konstitusi dan undang-undang sebagai petunjuk dan pengikat bagi aparatur negara, sekaligus sebagai pengikat semua elemen bangsa. Undang-undang dibuat oleh pembentuk: DPR dan Pemerintah.
Nah, persoalannya, kata LaNyalla, disebut apakah apabila ada undang-undang yang dibentuk, dan nyata-nyata menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan masyarakat banyak, serta melenceng dari tujuan lahirnya negara ini?
"Inilah kejahatan kepada rakyat yang sesungguhnya. Inilah kejahatan kepada pemilik kedaulatan yang sah di negara ini. Inilah kejahatan yang dibiarkan tetap ada, karena dianggap upaya untuk mereview UU tersebut bukan jaminan kejahatan yang merugikan rakyat itu hilang. Waraskah kita sebagai bangsa?" kecam LaNyalla.
Editor : Rohman