get app
inews
Aa Text
Read Next : Dukung Putusan MK Terkait Pilkada, Praktisi Hukum Henry Indraguna: Hanya Perlu Dibenahi

Dilarang Polisi Berdoa di Depan MK, Lieus Murka

Sabtu, 25 Juni 2022 | 08:22 WIB
header img
Lieus Sungkharisma berdebat dengan polisi karena tidak diizinkan berdoa di depan gedung MK, Jumat (24/6/2022) pagi. Foto: tangkapan layar YouTube

JAKARTA, iNewsDepok.id - Aktivis Tionghoa Lieus Sungkharisma marah besar (murka) karena dilarang polisi berdoa di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (24/6/2022) pagi.

Hal ini diketahui dari video yang diunggah Lieus di akun YouTube miliknya; Lieus Sungkharisma Official.

Dalam video itu, Lieus terlihat berdebat panjang dengan nada tinggi kepada polisi yang satu di antaranya memakai masker hitam.

"Pak, saya aturan (berdoa di depan MK) gak boleh, ini sekarang yang saya tanya. Kalau perlu doanya saya stop! Saya mau masuk ke dalam (gedung MK) nih ...," kata Lieus seperti dikutip Sabtu (25/6/2022).

"Tujuannya berdoa jadi marah-marah," kata polisi yang berdebat dengan Lieus. 

Dari video itu diketahui kalau Lieus berniat berdoa di depan MK dengan tata cara agama Buddha, agama yang dianutnya, sehingga ia dan rekan-rekannya yang hanya berjumlah tujuh orang termasuk dirinya, mambawa buah dan alat-alat sembahyang, termasuk hio. 

Doa ini dilakukan karena keprihatinan koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) itu atas putusan MK yang menolak semua permohonan judicial review terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20%, termasuk permohonan yang diajukan dirinya, karena aturan itu selain diyakini telah merusak demokrasi, juga menjadi penyebab suburnya oligarki.

Pasalnya, dengan presidential threshold 20%, anak bangsa yang memiliki kualitas dan jiwa kepemimpinan sekalipun, tidak akan dapat berpartisipasi dalam Pilpres, karena selain hanya partai-partai tertentu yang dapat mencalonkan Capres/Cawapres, juga karena dengaj kekuatan uangnya, oligarki dapat mengatur siapa figur yang dapat diusung parpol, dan mengatur kemenangannya. Hal ini diduga terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, sehingga Lieus pernah mengatakan bahwa jika presidential threshold tidak dihapus, maka ia dan rekan-rekannya akan memboikot Pemilu.

Lieus menjelaskan, untuk aksi doa di depan MK, pihaknya telah memberitahu Polda Metro Jaya dan diperbolehkan.

Namun, ketika Lieus dan kawan-kawannya datang ke MK sekitar pukul 10:00 WIB, Lieus dilarang polisi berdoa di situ, dan dipersilakan untuk berdoa di belakang MK.

"Saya agak heran, kenapa (dilarang)? Kita yang berdoa paling tujuh orang, kenapa nggak boleh? Tapi akhirnya saya ngalah; okelah, di belakang," kata Lieus.

Namun, Lieus kembali keheranan karena ia dan kawan-kawannya tak boleh menuju belakang MK melalui jalan yang ada di gedung megah itu, tetapi disuruh memutar melalui samping RRI.

"Di situlah saya marah," tegas Lieus.

Saat berdebat dengan polisi, Lieus mengingatkan kalau gedung MK adalah gedung yang dibangun dengan uang rakyat, sehingga gedung itu bukan milik pribadi.

"Ini kan rumah rakyat. Kalau ini rumah pribadi bapak, karena bapak yang punya rumah, saya mau lewat, gak boleh, karena privatcy. Orang punya hak pribadi. Karena ini rumah rakyat, dibiayai oleh negara, dan saya warga negara Indonesia. Kalau nggak boleh, saya berhak tanya dong," tegas Lieus.

Namun, polisi bersikukuh Lieus harus melalui samping RRI jika ingin berdoa di belakang MK.

Akhirnya, karena deadlock, Lieus membatalkan acara doa yang akan dilakukan di depan MK.

 

Editor : Rohman

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut