DEPOK, iNewsDepok.id - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, oligarki harus diakhiri dengan kembali kepada sistem ekonomi Pancasila.
Hal itu dia katakan saat memberikan sambutan dalam sebuah acara yang videonya beredar di aplikasi TikTok.
"Oligarki yang diperkaya memang akan bisa membiayai Pilpres dan menjadikan seseorang sebagai presiden, tetapi setelah itu kebijakan negara harus menguntungkan dan berpihak kepada mereka," kata LaNyalla seperti dikutip dari video itu, Minggu (24/4/2022).
Ia menambahkan, lingkaran setan ini harus dipotong dan diakhiri. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak boleh kalah oleh oligarki yang menempel dan berlindung di balik keluasaan.
"Jadi, sekarang bergantung pada leadership kita apakah pemimpin kita mau memelihara dan dipelihara, sehingga dapat duduk manis dapat saham dan setoran, atau memikirkan saat dia dilantik dan membacakan sumpah jabatan yang diucapakn dengan menyebut nama Allah," sambungnya.
Jika duduk manis dan menerima setoran serta saham untuk cucu dan cicit, lanjut mantan ketua umum PSSI itu, Indonesia akan terus berada di dalam situasi seperti hari ini di mana APBN defisit dan ditutupi dengan utang luar negeri, rakyat disuap dengan BLT-BLT untuk sekian puluh juta rakyat, dan seterusnya. Meski tidak ada satu pihak pun yang bisa mengecek angka-angka itu di lapangan.
"Oleh karena itu kita harus berani bangkit, berani melakukan koreksi bahwa sistem ekonomi Pancasila yang disusun sebagai usaha bersama untuk kemakmuran rakyat yang sudah kita tinggalkan itu mutlak dan wajib untuk kita kembalikan. Tanpa itu, negara ini akan dikuasai oleh oligarki yang rakus menumpuk kekayaan dan rakyat akan tetap kere," tegasnya.
Seperti diketahui, isu bahwa pemerintahan Jokowi dikuasai dan dikendalikan oligarki telah kencang berhembus, terutama setelah DPR mengesahkan UU Minerba dan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah, tanpa mengindahkan kritik dan penolakan rakyat.
Selain LaNyalla, tokoh nasional yang pernah mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi dikuasai dan dikendalikan oligarki di antaranya politikus senior Amien Rais, dan dosen filsafat UI yang juga pengamat politik, Rocky Gerung.
Tentang Oligarki
Dikutip dari Wikipedia, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti sedikit dan memerintah.
Oleh Karena itu, sistem ini disebut juga pemerintahan dari atas, yakni negara dijadikan alat untuk mencapai tujuan kelompok elit, sehingga tujuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat, keadilan, dan kemerdekaan perorangan biasanya tidak dapat atau sulit diwujudkan.
Contoh negara yang menganut sistem politik oligarki pada masa silam adalah negara Yunani Kuno, dan pada masa sekarang adalah negara-negara komunis, yang dalam kenyataannya negara dikendalikan oleh anggota anggota presidium yang kemudian mendelegasikan kepada Sekretaris jenderal dan wakil-wakilnya.
Indonesia merupakan negara penganut sistem demokrasi, tetapi sebagaimana dilansir katadata, menurut analis politik yang juga profesor di Northwestern University, Jeffrey A Winters, sistem demokrasi yang dianut Indonesia mempunyai tujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi karena dikuasai kelompok oligarki, sehingga sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk memakmurkan rakyatnya.
Meski demikian Winters mengatakan, ketimpangan kekayaan di Indonesia jauh lebih merata di antara kelompok kaya dengan kelompok miskin saat tahun 1945 dibandingkan pada saat ini. Hal itu terjadi karena dari kelompok elit dan oligarki di Indonesia sudah menguasai serta mengontrol sistem demokrasi dan hal itu berlanjut terus, sehingga Indonesia mempunyai oligarki demokrasi.
Winters bahkan mengatakan bahwa sistem demokrasi yang sedang berkembang akan semakin membuat oligarki merajalela, tetapi hal ini bukan karena kesalahan sistem demokrasi, melainkan akibat kurangnya penegakan hukum.
Oligarki menjadi faktor utama dalam mempengaruhi ekonomi politik di Indonesia. Oligarki sudah ada sejak masa Orde Baru dan terus berlanjut hingga runtuhnya pemerintahan Soeharto, tetapi dalam bentuk yang berubah dari oligarki sultanistik menjadi oligarki penguasa kolektif.
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam bukunya yang berjudul Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market, menjelaskan, oligarki yang muncul di Indonesia tidak hilang pasca reformasi, namun terus bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh Neoliberalisme.
Setelah kejadian krisis ekonomi pada 1998, oligarki bisa bertahan dan menjadi tokoh utama di dalam dunia bisnis di Indonesia.
Perkembangan oligarki dari era Soekarno hingga Jokowi
Profesor Azyumardi Azra dalam artikel bertajuk "Membendung Oligarki" mengatakan, fenomena pertumbuhan oligarki politik di Indonesia dalam segi tertentu berbeda dengan oligarki di beberapa negara lain. Di masa Presiden Soekarno (Orde Lama) praktik oligarki politik dan oligarki finansial belum terlalu eksis atau meluas, tetapi di era pemerintahan Soeharto (Orde Baru) praktik ”oligark finansial” mulai berkembang yang lazim disebut ”cukong”.
Para cukong itu adalah super rich dengan korporasi besar yang dekat dengan Presiden Soeharto, tetapi seberapa besar persisnya pengaruh oligarki terhadap kebijakan politik Presiden Soeharto, masih harus diteliti; tetapi bisa diasumsikan, pak Harto terlalu kuat untuk bisa dikendalikan para oligarki.
Oligarki politik yang memiliki jaringan dengan oligark finansial atau oligark cukong (super rich) di tingkat nasional, dan the rich di tingkat lokal tumbuh pesat di masa reformasi.
Alasannya; pertama, politik Indonesia dengan demokrasi liberal terfragmentasi dalam banyak Parpol. Karena tidak memiliki keuangan memadai, elite parpol berusaha mendapat dukungan finansial dari super rich atau the rich.
Kedua, sejak Pemilu Legislatif 1999, Pilpres 2004, Pilkada 2005, dan seterusnya, biaya calon dalam kontestasi elected offices kian mahal. Menurut Institut Otda (2021), biaya Caleg Pilkada/Pemilu 2019 untuk tingkat kabupaten/kota antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Sementara Caleg DPRD Provinsi Rp1 miliar hingga Rp2 miliar; Calleg DPR RI sekitar Rp1 miliar hingga Rp 2 miliar; calon bupati/wali kota Rp10 miliar hingga Rp 30 miliar; calon gubernur Rp30 miliar hingga Rp 100 miliar; dan calon presiden sekitar Rp5 triliun hingga Rp20 triliun.
Liberalisasi politik dengan bermacam Pemilu membuat posisi oligark cukong secara finansial dan politik terus menguat. Oligark super kaya dan kaya juga kian banyak yang menjadi politisi, membuat mereka sekaligus oligar politik. Sebaliknya, oligark politik yang semula kere kemudian menjadi oligark kaya.
"Oligark politik dan oligark cukong selalu menimbulkan dampak negatif terhadap demokrasi dan penegakan hukum. Kasus tergamblang adalah pelemahan KPK. Oligark selalu berusaha agar proses legislasi dan penegakan hukum tidak merugikan mereka; sebaliknya mesti menguntungkan dan menjadikan posisi mereka dalam oligarki politik dan oligarki ekonomi-finansial tetap dan kian kuat," kata Azyumardi dalam artikel itu.
Demokrasi dengan kedaulatan rakyat sebagai sistem dan praksis politik Indonesia, tidak selaras dengan oligarki politik yang berkelindan dengan oligarki ekonomi-finansial, sehingga harus dibendung.
Editor : Rohman
Artikel Terkait