Lieus: Hasil Pilpres 2024 Bisa Bikin Oligarki Lebih Sakti, Lebih Kuat dan Lebih Sadis

Tim iNews
Lieus Sungkharisma dan mantan Ketum FPI Habib Muchsin Alatas di podcast Refly Harun. Foto: tangkapan layar YouTube

JAKARTA, iNewsDepok.id - Aktivis Tionghoa Lieus Sungkharisma menilai, jika presidential threshold (PT) tidak dihapuskan, hasil Pilpres 2024 akan sama mengecewakannya dengan hasil Pilpres 2014 dan 2019, dan bisa membuat oligarki lebih sakti, lebih kuat dan lebih sadis.

"Sekarang ini orang ribut 2024 siapa Capres-nya. Dengan presidential threshold 20%, Pilpres nanti (2024) akan persis kayak kemarin-kemarin (Pilpres 2014 dan 2019, red). Apalagi yang kita pilih? Elit gak ada manfaatnya, (karena) hasilnya pasti sama; mengecewakan," kata Lieus seperti dikutip dari video bertajuk "LIVE!!XKETUA FPI & LIEUS SUNGKHARISMA GERUDUK RH CHANNAEL" yang diunggah di akun YouTube Refly Harun, Rabu (1/6/2022).

Koordinator Komunitas Anti Korupsi (KomTak) ini membenarkan kesimpulan mantan ketua umum FPI Habib Muchsin Alatas bahwa hasil Pilpres 2024 akan membuat nasib bangsa Indonesia nanti ibarat lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.

"Iya, (karena) oligarki berkuasa sangat kuat, dan lebih sakti, lebih kuat dan lebih sadis lagi karena hasil rekrutmen yang sesat," katanya.

Menurut Lieus, hal itu terjadi karena dengan president threshold 20%, orang-orang baik dan orang-orang yang dikehendaki rakyat Indonesia, tidak akan diberi kesempatan. 

"Inilah yang harus kita suarakan, kita perjuangkan. Hari-hari ini kita hitung langkah-langkah kita, (untuk mencari cara) bagaimana menghapuskan presidential threshold. Saya lihat berapa banyak gugatan ke MK (terhadap pasal 222 UU Pemilu yang mengatur tentang presidential threshold 20%) yang ditolak seenak-nya," kata dia seraya mencontohkan gugatan dari mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, DPD RI, dirinya dan Partai Umat yang ditolak MK.

Meski demikian Lieus mengaku senang karena Ketua DPD RI saat ini, yakni LaNyalla Mahmud Mattalitti, memberikan harapan karena dia tetap memperjuangkan presidential threshold 0%.

Seperti diketahui, dengan PT 20%, maka hanya partai-partai besar saja yang dapat mengusung Capres dan Cawapres, sementara partai-partai menengah dan kecil mau tidak mau harus berkoalisi dengan partai besar atau dengan partai yang selevel agar dapat memenuhi PT 20% dan dapat mengusung Capres sendiri.

Pada Pileg 2019 lalu, dari 16 partai peserta Pemilu, hanya sembilan yang meraih suara di atas 3%, tertinggi PDIP dengan 19,33%, disusul Gerindra 12,57%, Golkar 12,31%, PKB 9,69%, Nasdem 9,05%, PKS 8,21%, Demokrat 7,77%, PAN 6,84%, dan PPP 4,52%.

Dari kesembilan Parpol itu, lima di antaranya, yakni PDIP, Golkar, PKB, PPP, dan NasDem, plus PSI, Hanura, PKPI dan Perindo, mengusung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019, sementara PKS, Gerindra, PAN dan Demokrat mengusung Prabowo-Sandi.

Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, Gerindra dan PAN bergabung dengan pemerintahan Jokowi, sehingga praktis hanya PKS dan Demokrat yang saat ini berada di luar pemerintahan.

Pada Mei 2022 lalu, Golkar, PAN dan PPP telah membetuk Koalisi Indonesia Bersatu dan dikabarkan akan mengusung Capres sendiri, sementara Gerindra dikabarkan akan berkoalisi dengan PDIP untuk mengusung Prabowo-Puan Maharani.

PKS, Demokrat dan NasDem dikabarkan akan mengusung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, tetapi peta politik masih akan terus berubah seiring dinamika yang terus berkembang mendekati Pilpres 2024 yang diselenggarakan pada tanggal 14 Februari.

Dengan ketentuan PT 20% dan partai-partai yang berkoalisi telah memiliki Capres-Cawapres sendiri, maka praktis hanya sedikit calon yang akan bertarung di Pilpres 2024, sehingga seperti yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, dari begitu banyak nama yang muncul, akhirnya hanya dua pasang yang bertarung, sehingga rakyat tidak punya pilihan lain dan harus memilih satu di antaranya. Meskipun tidak sreg.

Di sisi lain, demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia saat ini menjadikan sistem demokrasi dengan biaya sangat tinggi, sehingga memungkinkan oligarki ikut bermain dengan membiayai para calon agar menang, tetapi tentu saja dengan imbalan tertentu.

Inilah yang terjadi saat ini di Indonesia. Meski presiden Jokowi diusung dan didukung 11 Parpol, banyak kalangan, termasuk Lieus yang meyakini kalau pemerintahan ini dikuasai dan dikendalikan oligarki yang membiayainya saat Pilpres 2014 dan 2019, sehingga kebijakan-kebijakannya banyak yang tidak sesuai kehendak rakyat dan hanya menguntungkan para pengusaha/pemilik modal yang tergabung membentuk oligarki, dan celakanya, DPR seolah menjadi bagian dari pemerintah, sehingga terbitlah revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, Minerba, dan kebijakan lain yang menuai kritik, termasuk rencana merevisi UU Sisdiknas.

Lieus meyakini, jika presidential threshold dihapuskan atau di 0%-kan, maka semua Parpol peserta Pemilu akan dapat mengusung Capres sendiri, sehingga Capres yang terpilih bisa saja bukan yang diusung dan didukung oligarki.

 

Editor : Rohman

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network