JAKARTA, iNewsDepok.id - Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) Lieus Sungkharisma mengatakan, ia mendukung sepenuhnya sikap keras Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti yang mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi (MK) dibubarkan jika lembaga tinggi negara itu juga menolak permohonan judicial review (JR) yang diajukan DPD RI pada 25 Maret 2022 lalu terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur presidential threshold (PT) 20%.
Lieus menilai, jika MK juga menolak permohonan JR DPD RI terhadap pasal 222 itu, maka fix MK memutuskan bukan berdasarkan asas keadilan, melainkan karena conflict of interest.
"Saya mendukung, karena alasan Pak LaNyalla mengusulkan pembubaran MK itu logis jika MK juga menolak JR terhadap PT 20% yang diusulkan DPD," kata Lieus seperti dikutip dari siaran tertulisnya, Kamis (9/5/2022).
Menurut dia, DPD adalah lembaga tinggi negara seperti MK, dan pimpinan serta anggota DPD dipilih oleh rakyat melalui Pemilu. Dan itu artinya pimpinan dan anggota DPD merupakan representasi rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sehingga DPD memiliki legal standing untuk mengajukan JR pasal 222 UU Pemilu tentang PT 20%.
"Jika permohonan JR DPD juga ditolak, maka fix MK memutuskan bukan berdasarkan asas keadilan dan kepentingan bangsa serta negara ini, melainkan karena konflik kepentingan (conflict of interest). Apalagi tanggal 26 Mei yang lalu Ketua MK Anwar Usman kan menikahi adik Presiden Jokowi, sehingga statusnya kini adik ipar Presiden," katanya
Untuk diketahui, LaNyalla mengusulkan pembubaran MK jika permohonan JR DPD terhadap pasal 222 UU Pemilu juga ditolak lembaga tinggi negara itu, dalam acara Dialog Nasional Peringatan 25 Tahun Mega-Bintang dengan tema "Kedaulatan Rakyat versus Oligarki dan KKN" di Solo, Jawa Tengah, Minggu (5/6/2022).
LaNyalla mengusulkan hal itu karena ia melihat bagaimana dampak penerapan PT 20% terhadap Indonesia pada saat ini, karena PT 20% membuat pemerintahan yang terbentuk dari hasil Pilpres 2019 adalah pemerintahan yang dikuasai dan dikendalikan oligarki, sementara di sisi lain, PT 20% tidak diatur dalam UUD 1945.
Sejauh ini, MK diketahui telah menolak lebih dari 20 permohonan JR pasal 222 UU Pemilu yang diajukan berbagai tokoh, termasuk Lieus, Waketum Partai Gerindra Ferry Juliantono, anggota DPD RI Fahira Idris, dan lain-lain. Salah satu alasan yang diberikan MK dalam menolak semua permohonan itu adalah karena para pemohon dinilai tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan tersebut
Lieus mengatakan, jika PT 20% tidak dihapuskan, maka hasil Pilpres 2024 akan sama saja dengan hasil Pilpres 2019, yakni mengecewakan karena akan menghasilkan presiden terpilih yang sesuai dengan keinginan oligarki, bukan yang sesuai kehendak dan kepentingan rakyat.
Sebab, PT 20% membuat putra-putra terbaik bangsa tak dapat berpartisipasi dalam Pilpres, karena yang dapat berkontestasi hanya politisi-politisi dari partai tertentu yang berkolaborasi dengan oligarki untuk memenangkan Pilpres.
"Karena itu kalau MK juga menolak JR yang diajukan DPD, sudah bubarin saja karena MK hanya menjadi lembaga penjaga undang-undang yang melanggar konstitusi negara," pungkas Lieus.
Editor : Rohman
Artikel Terkait