dr. Emira menambahkan bahwa sakit adalah musibah, bukan keuntungan. Setiap tindakan medis, bahkan obat, memiliki efek baik dan buruk. Oleh karena itu, pasien didorong untuk:
- Bertanya: Pahami diagnosis dan pilihan perawatan.
- Memastikan: Cari second opinion jika perlu, pastikan tindakan yang diambil sesuai kebutuhan.
- Membaca: Pahami diagnosis, cara pemulihan, dan isi polis asuransi.
- Memanfaatkan: Gabungkan dengan BPJS Kesehatan atau fitur top-up untuk mengontrol premi di masa depan.
Menjadi Pasien yang Kritis dan Tenaga Pemasar yang Transparan
SEOJK No. 7 Tahun 2025 menuntut nasabah untuk lebih berpikir kritis dan aktif. dr. Dian mencontohkan pengalamannya saat dokter meresepkan obat pereda nyeri dalam jumlah banyak, padahal ia belum membutuhkan. Ia berinisiatif bertanya dan memilih untuk tidak langsung membeli semua obat tersebut. "Ini bener nih harus dioperasi, kenapa dok harus dioperasi? Itu enggak apa-apa," tegasnya. Selain itu, nasabah wajib memahami:
- Limit Co-Payment: Batas minimal 10%, maksimal Rp300 ribu (rawat jalan) dan Rp3 juta (rawat inap).
- Masa Tunggu (Waiting Period): Umumnya 30 hari, bisa sampai 1 tahun untuk penyakit kritis/kronis.
- Batasan Manfaat (Annual Limit & Life Limit): Pastikan tidak melewati batas pertanggungan.
- Pre-Existing Condition: Pahami penyakit yang dikecualikan dalam polis.
- Penggunaan Bijak: Hindari overutilization (pemanfaatan berlebihan).
Di sisi lain, tenaga pemasar asuransi juga memiliki peran krusial. Mereka diharapkan memahami SEOJK, transparan dalam menjelaskan fitur dan batasan produk (termasuk co-payment dan masa tunggu) sejak awal penjualan, dan memastikan nasabah mengisi Surat Pengajuan Asuransi Kesehatan (SPAK) dengan jujur. "Jangan pas jualan enggak ngingetin. Pas jualan sudah diingetin bahwa ada fitur-fitur, ada co-payment, ada masa tunggu, dan lain sebagainya," tegas dr. Dian.
dr. Emira E. Oepangat, Wakil Ketua I PERDOKJASI (Perhimpunan Dokter Kedokteran Jaminan Sosial dan Asuransi Indonesia). Foto: Dok. AAJI
PERDOKJASI dan Peran Dokter Asuransi
PERDOKJASI, sebagai organisasi profesi dokter yang berfokus pada jaminan sosial dan asuransi, berperan penting dalam menjembatani keahlian medis dan pembiayaan kesehatan. Mereka mengadvokasi pembentukan Dewan Penasihat Medis (DPM) yang independen untuk memberikan rekomendasi berbasis bukti medis kepada industri asuransi. DPM ini akan memastikan keputusan pembayaran klaim berdasarkan kajian medis yang komprehensif dan independen.
dr. Emira menjelaskan perbedaan antara conventional medicine dan insurance medicine. Kedokteran konvensional berfokus pada pemulihan kesehatan pasien, sementara kedokteran asuransi juga mempertimbangkan harapan hidup dan validitas klaim berdasarkan evidence-based medicine dan clinical pathway. "Yang kita mau potong kemana? Yang salah-salah ini," ujarnya, merujuk pada praktik overutilization atau klaim yang tidak sesuai.
Dengan sinergi antara regulasi yang kuat, edukasi yang masif bagi nasabah, transparansi dari tenaga pemasar, serta peran aktif dari dokter dan asosiasi seperti PERDOKJASI, diharapkan industri asuransi kesehatan di Indonesia dapat menghadapi tantangan inflasi medis dan terus bertumbuh secara berkelanjutan.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait
