Menyusul keberhasilan ini, Indonesia juga saat ini sedang mengupayakan kemudahan berusaha atau ease of doing business yang penilaiannya dilakukan oleh Bank Dunia, ditandai dengan seberapa mudah pendirian usaha, pendanaan, memperoleh kredit dan beberapa faktor lainnya.
“Selain melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan penilaian FATF, Indonesia juga berupaya untuk mendapatkan nilai yang baik dalam penilaian World Bank dan saat ini sedang diusahakan dengan kerja sama bersama berbagai pihak,” jelas Cahyo.
Untuk mewujudkannya, Dirjen AHU Kemenkumham berpesan kepada notaris untuk selalu melaporkan transaksi yang mencurigakan melalui GO-AML dari PPATK untuk menghindari dari terjeratnya notaris dari keterlibatan dalam berbagai kasus tindak pidana. Notaris juga diminta untuk dapat menggali siapa pemilik manfaat atau beneficial owner yang menjadi salah satu aspek penting dalam indikasi TPPU dan TPPT, yang dapat memudahkan penegak hukum dalam melakukan penyelidikan.
“Saat ini Ditjen AHU tengah melakukan penyempurnaan sistem identifikasi BO, dan juga sedang berusaha menjadi anggota Corporate Register Forum (CRF) yang jika berhasil nantinya data korporasi kita akan terkoneksi dengan data korporasi di dunia,” kata Cahyo menambahkan.
Berkaitan dengan penyelesaian dualisme kepengurusan Ikatan Notaris Indonesia (INI), Cahyo menyebutkan Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan mediasi, namun hingga saat ini belum ada penyelesaian dari internal organisasi sehingga Kementerian mengambil langkah tegas untuk mengambil alih.
“Terkait dualisme kepengurusan INI, kami tegaskan saat ini INI tidak punya pengurus, sehingga tidak ada yang dapat menyelenggarakan Ujian Kode Etik Notaris (UKEN) dan UKEN akan diambil alih oleh pemerintah,” tutup Cahyo.
Editor : M Mahfud
Artikel Terkait