Inflasi Medis dan Tantangan Asuransi Kesehatan: Saatnya Berpikir Kritis dan Bertindak Bijak

BOGOR, iNews Depok.id - Industri asuransi kesehatan di Indonesia tengah menghadapi gelombang tantangan yang signifikan, terutama setelah pandemi COVID-19. Data menunjukkan klaim asuransi kesehatan melonjak drastis, jauh melampaui kenaikan premi yang lebih lambat. Fenomena ini menciptakan defisit yang kian melebar, mengancam keberlangsungan industri jika tidak segera diatasi.
Dalam kesempatan sesi kedua, Media Gathering di Hotel Royal Tulip Gunung Geulis, Sentul-Bogor, Jawa Barat, Rabu, 25 Juni 2025, dr. Dian Budiani, Kepala Departemen Klaim dan Manfaat Asuransi AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia), menyoroti bahwa pada tahun 2022 saja, kesenjangan antara klaim dan premi sudah terlihat jelas, dan tren ini diperkirakan terus berlanjut hingga 2025 dengan inflasi medis yang diproyeksikan mencapai 13-14%. "Bisa dibayangkan enggak sih industri asuransi kesehatan ini kalau misalnya seperti ini kondisinya bertahun-tahun?" ujar dr. Dian, menggambarkan kekhawatiran serius akan potensi kegagalan industri.
Kenaikan biaya medis ini bukan isapan jempol belaka. dr. Dian memberikan contoh nyata dari pengalamannya selama lebih dari 20 tahun di industri asuransi. Dulu, klaim usus buntu mungkin hanya Rp 5 juta, namun kini bisa mencapai Rp 50 juta atau bahkan lebih, tergantung jenis tindakan dan dokter yang menangani. Demam berdarah yang sebelumnya tidak memerlukan biaya fantastis, sekarang bisa memakan biaya hingga Rp 15 juta. "Betul, enggak cuma grafik ini yang naik tapi in reality, kalau kita sakit, mahal banget," tegasnya.
Peran OJK dan SEOJK No. 7 Tahun 2025: Menuju Ekosistem yang Sehat
Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan oleh pelaku industri, tetapi juga oleh regulator. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bersama Komite Medik dan Mutu Klinis (KMMK), mencermati bahwa biaya pribadi yang dikeluarkan masyarakat untuk kesehatan juga terus meningkat, mencapai 30%. Hal ini menjadi perhatian karena tidak semua masyarakat mampu mengakses layanan kesehatan swasta yang mahal, meskipun ada segmen yang menginginkan fasilitas di atas BPJS Kesehatan.
Menyikapi kondisi ini, OJK telah mengadakan serangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan akhirnya mengeluarkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan pada 19 Mei lalu. SEOJK ini, menurut dr. Dian, bertujuan untuk menyeimbangkan kembali ekosistem asuransi kesehatan agar lebih sehat.
Ada sembilan poin penting dalam SEOJK ini, diantaranya:
Co-Payment: Dari Sudut Pandang Pasien dan Industri
Penerapan co-payment seringkali menimbulkan pertanyaan. Namun, dr. Emira E. Oepangat, Wakil Ketua I PERDOKJASI (Perhimpunan Dokter Kedokteran Jaminan Sosial dan Asuransi Indonesia), memberikan pandangan dari sisi pasien. "Aku ngeliat dari sisi nasabah harusnya co-payment. Karena itu dia punya skin in the game," ungkap dr. Emira. Dengan adanya co-payment, nasabah akan berpikir ulang apakah tindakan medis yang diambil benar-benar diperlukan atau ada alternatif lain. Ini juga mendorong nasabah untuk menjadi konsumen medis yang cerdas.
Editor : M Mahfud