Adaptasi Cerdas Industri Asuransi untuk Memenuhi Tuntutan Transparansi Pasca Putusan MK

BOGOR, iNews Depok.id – Industri asuransi Indonesia tengah menghadapi babak baru pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-XXII/2024. Putusan ini membawa implikasi signifikan terhadap praktik kontrak asuransi, khususnya terkait pembatalan polis secara sepihak oleh perusahaan. Kini, transparansi dan keadilan menjadi sorotan utama, mendorong industri untuk beradaptasi dan memperkuat perlindungan konsumen.
Putusan MK tersebut secara spesifik menyatakan bahwa Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Artinya, pembatalan pertanggungan asuransi tidak lagi bisa dilakukan sepihak oleh penanggung, melainkan harus didasarkan pada kesepakatan antara penanggung dan tertanggung atau melalui putusan pengadilan.
Fondasi Hukum dan Prinsip Asuransi
Untuk memahami dampak putusan ini, penting untuk meninjau kembali fondasi hukum perjanjian di Indonesia. Assoc. Prof. Dr. Hendri Jayadi, S.H., M.H., Akademisi dan Pakar Hukum Pidana menjelaskan bahwa prinsip dasar perjanjian dalam hukum perdata Indonesia diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal ini memuat empat syarat sahnya perjanjian: kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. Keempat unsur ini harus dipenuhi secara kumulatif, atau perjanjian dapat dinyatakan batal.
Lebih lanjut, dalam konteks asuransi, terdapat prinsip-prinsip khusus yang menjadi landasan, diantaranya:
"Putusan ini memberikan dampak signifikan terhadap prinsip kepastian hukum dalam kontrak, khususnya kontrak asuransi. Kepastian hukum diperkuat melalui pengawasan yudisial, praktik kontraktual menjadi lebih adil dan seimbang, risiko multitafsir atas klausul sepihak dikurangi, dan standar objektivitas dalam pemutusan kontrak meningkat," ujar Dr. Hendri Jayadi dalam paparannya pada Rabu, 25 Juni 2025 saat acara Media Gathering di Hotel Royal Tulip Gunung Geulis, Sentul-Bogor, Jawa Barat.
Implikasi Putusan MK dan Respons Industri
Latar belakang putusan MK ini bermula dari kasus klaim asuransi dimana perusahaan menemukan data atau rekam medis tertanggung yang tidak diungkapkan saat pengisian formulir pemulihan. Ahli waris kemudian mengajukan permohonan judicial review ke MK, dengan alasan Pasal 251 KUHD memungkinkan perusahaan asuransi menghindari tanggung jawab pembayaran klaim.
Dalam kesempatan yang sama, Hasinah Jusuf, Kepala Departemen Legal AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) menjelaskan amar putusan MK: "Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan."
Poin penting dari pertimbangan MK adalah penegasan bahwa asas-asas fundamental perjanjian, termasuk asas iktikad baik (utmost good faith), berlaku pula bagi perjanjian asuransi. Prinsip utmost good faith dalam Pasal 251 KUHD tidak hanya berlaku bagi pemegang polis dan tertanggung, tetapi juga bagi penanggung (termasuk agen dan pialang asuransi). Pembatalan karena non-disclosure harus atas dasar kesepakatan atau putusan pengadilan.
Hasinah juga menekankan beberapa catatan penting terkait putusan ini:
Editor : M Mahfud