Sejuta Kisah Inspiratif dalam Peringatan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer
Pada tahun 1950, Pramoedya diangkat sebagai redaktur sastra Indonesia modern di Balai Pustaka. Pramoedya lantas bekerja sebagai pengarang penuh-waktu, penerjemah, dan kontributor lepas di berbagai surat kabar dan majalah, setelah berhenti dari Balai Pustaka.
Kiprahnya sebagai wajah baru dalam kesusastraan Indonesia mengantarkan Pramoedya pada berbagai capaian, mulai dari Program Residensi di Belanda atas biaya Stichting voor Culturele Samenwerken (Sticusa) pada 1953; undangan peringatan wafat Lu Hsun dari Republik Rakyat Tiongkok pada 1956; hingga mengetuai delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent pada 1957.
Pada bulan Agustus 1960, Pramoedya ditangkap dan dipenjara selama satu tahun tanpa peradilan karena menerbitkan buku Hoakiau di Indonesia. Buku ini dianggap subversif oleh penguasa saat itu karena menunjukkan pembelaan terhadap kedudukan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang disudutkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10/1959 yang rasialistis.
Sesudah dibebaskan, Pramoedya menerima tawaran menjadi redaktur rubrik kebudayaan surat kabar Bintang Timur serta mengajar mata kuliah Kesusastraan Indonesia dan Sejarah Indonesia Modern di Universitas Res Publica, Akademi Sedjarah Ranggawarsita, dan Akademi Sastra Multatuli. Karya-karyanya dalam bentuk biografi (Panggil Aku Kartini Sadja), cerita bersambung (Larasati dan Gadis Pantai), polemik, esai bersambung, hingga makalah ilmiah secara teratur terbit di rubrik kebudayaan “Lentera” yang diasuh Pramoedya bersama Rukiah Kertapati.
Sesudah Gerakan 30 September 1965 digagalkan, Pramoedya ditangkap dalam penyerbuan massa ke kediamannya pada 13 Oktober 1965. Delapan manuskrip yang belum selesai turut dihancurkan dan dibakar bersama-sama koleksi lima ribu buku di perpustakaan pribadinya.

Selama empat tahun berikutnya, Pramoedya beberapa kali mengalami pemindahan lokasi penahanan (Penjara Salemba, Tangerang, dan Nusa Kambangan) sebelum diberangkatkan bersama 800 orang tahanan politik ke Pulau Buru pada 16 Agustus 1969 dengan kapal “ADRI XV”.
Kerja paksa membuka hutan dengan peralatan seadanya, membuka sawah, serta membangun infrastruktur jalan dan jembatan di bawah ancaman bedil menjadi pekerjaan harian Pramoedya sebagai tahanan politik hingga mendapatkan izin Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal. Soemitro, untuk kembali melakukan pekerjaan tulis-menulis.
Dalam keterbatasan alat tulis dan pasokan kertas, Pramoedya menuliskan ulang cerita-cerita lisan yang dia tuturkan sebelum tidur kepada teman-teman sesama tahanan. Tidak kurang dari delapan naskah dia lahirkan dalam keterbatasan tersebut, antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, Mangir, Di Atas Lumpur, dan dokumentasi Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
Naskah-naskah yang sudah selesai diketik kemudian digandakan dan disembunyikan sampai Pramoedya menemukan celah menyelundupkannya keluar dari Buru dengan bantuan biarawan dan biarawati Katolik yang melakukan kunjungan secara berkala untuk memberikan pelayanan rohani dan konseling untuk para tahanan politik.
Tidak hanya menuliskan roman, Pramoedya memanfaatkan izin menulis ini untuk berkirim surat kepada keluarganya, serta mencatat kematian tahanan politik dari 23 unit tahanan di Pulau Buru.
Editor : M Mahfud