Menurut Investopedia, Binary Option adalah produk keuangan di mana pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi diberi opsi atau pilihan. Binary Option bergantung pada hasil dari proposisi "ya atau tidak", oleh karena itu dinamakan "biner".
Binary Option dijalankan secara otomatis, yang berarti keuntungan atau kerugian secara otomatis dikreditkan atau didebit ke akun pengguna saat opsi tersebut kedaluwarsa. Pilihannya hanya ada dua, pengguna Binary Option bisa menerima pembayaran atau kehilangan seluruh investasi mereka.
Praktisi hukum Hendarsam Marantoko mengatakan, trading dengan sistem Binary Option dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana perjudian, dan melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta UU Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
Berikut contoh cara kerja Binary Option: Pengguna Binary Option diminta menebak harga saham perusahaan X, apakah akan berada di atas US$ 25 pada 22 April 2021 pukul 10:45 atau sebaliknya.
Pengguna diminta memilih opsi "ya" yang berarti akan lebih tinggi dari US$ 25, atau "tidak" yang artinya akan lebih rendah.
Untuk mengikuti opsi ini, pengguna diminta menempatkan uang (deposit) dalam jumlah tertentu, misalnya US$ 100. Jika saham perusahaan X diperdagangkan di atas US$25 pada 22 April 2021 pukul 10:45, maka pengguna menerima pembayaran sesuai dengan persyaratan yang disepakati. Misalnya, jika pembayarannya 70%, broker biner mengkredit akun trader dengan US$70, tetapi jika harga saham perusahaan X di bawah US$25 pada tanggal dan waktu tersebut, pengguna itu dinyatakan salah menebak, dan uang US$100 yang didepositkan hilang seluruhnya.
Binary Option telah muncul sejak tahun 2018. Karenanya, Hendarsam menyesalkan Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) dan Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi) yang dinilai kurang cepat tanggap dalam merespon modus penipuan itu, sehingga jatuh banyak korban.
"Maraknya kasus Binary Option ini tidak hanya dapat dipersalahkan kepada masyarakat atau afiliator saja, karena ada organ pemerintah, dalam hal ini Bappebti dan Kemenkominfo sebagai supervisor dan regulator yang seharusnya bisa bertindak lebih cepat dan lebih tanggap dalam mengedukasi masyarakat dan influencer atau afiliator, mengingat praktik ini sudah empat tahun terjadi, sejak 2018," katanya dalam video yang diunggah ke akun Instagram-nya, Kamis (10/3/2022).
Ia pun mengingatkan masyarakat bahwa kalau ingin ikutan trading, harus cerdas dan cermat dalam menentukan bisnis investasi yang tepat, dan mengetahui dengan persis apakah bisnis itu legal atau ilegal.
"Dan juga kepada publik figur, influencer, afiliator yang bermakud mengendors suatu produk setidak-tidaknya harus menggunakan konsultan hukum yang mengerti mengenai masalah investasi, sehingga tidak terjadi lagi kejadian seperti yang ada sekarang ini," katanya.
Editor : Rohman