KYIV, iNews.id - PBB mengabarkan bahwa lebih dari 150.000 warga Ukraina melarikan diri dari Kyiv, ibu kota negara itu, menyusul meningkatnya serangan Rusia ke Ukraina yang mengarah langsung ke Kiev.
Al Jazeera melaporkan, salah satu warga Ukraina yang melarikan diri adalah petenis Dayana Yastremska.
"Dia melarikan diri ke tempat yang aman di Prancis," kata Al Jazeera, Minggu (27/2/2022).
Kaburnya Yastremska itu diketahui dari cuitan petenis berusia 21 tahun itu di akun Instagram-nya.
Yastremska, yang telah memenangkan tiga gelar WTA dan sempat menduduki peringkat 21 dunia, mengatakan dia meninggalkan Odesa bersama adik perempuannya dengan bantuan orang tua mereka.
"Lelah, tapi adikku dan aku aman! Terima kasih Prancis. Ukraina tetap kuat. Kami merindukanmu Rumah, Ibu dan Ayah," kata Yastremska di Instagram-nya itu seraya memposting foto tentang dirinya di Rumania dan dalam perjalanan ke Prancis.
Serangan Rusia ke Ukraina dimulai (24/2/2022) setelah Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi mengumumkan operasi militer ke negara itu. Serangan dimulai dengan meledakkan sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odesa, Kharkiv dan Mariupol.
Hingga hari ini perang masih berlangsung, bahkan intensitas ketegangan makin meningkat karena tentara Rusia terus maju untuk menguasai Kyiv.
Invasi ini membuat Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris dan Kanada bereaksi keras dengan menjatuhkan sanksi yang menyasar Putin dan menteri-menteri dalam pemerintahannya. Sanksi itu bahkan membuat Rusia tak dapat mencairakan dana cadangan sebesar US$ 630 miliar di Bank Sentral Rusia karena dibekukan, sementara PBB tak hanya mengecam, tapi juga melakukan misi kemanusiaan untuk membantu rakyat Ukraina yang menjadi korban.
Hingga Sabtu (26/2/2022), menurut Kementerian Kesehatan Ukraina seperti dikutip kantor berita Interfax, sebanyak 198 orang warga Ukraina telah tewas, tiga di antaranya adalah anak-anak, sementara korban luka-luka mencapai 1.115 orang, di mana 33 orang di antaranya adalah anak-anak.
Penyebab Perang
Dulu Ukraina "rapat" dengan Rusia, tetapi pemimpin Ukraina yang sekarang lebih dekat ke Barat dan ingin menjadi bagian dari NATO. Padahal, ketika Perang Dingin terjadi sebelum tahun 1990, orang-orang Ukraina dan Rusia bersatu dalam sebuah negara federasi bernama Uni Soviet, negara komunis yang kuat di zaman itu.
Uni Soviet setelah Jerman kalah dan PD II selesai, memiliki pengaruh di belahan timur Eropa. Tak heran jika negara-negara di benua Eropa bagian timur juga menjadi negara-negara komunis.
Pada 1991, Uni Soviet dan Pakta Warsawa bubar. Di tahun yang sama, Ukraina memberikan suara untuk memerdekakan diri dari Uni Soviet dalam sebuah referendum. Keputusan itu disetujui presiden Rusia kala itu, Boris Yeltsin, dan selanjutnya Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS).
Namun, kemudian perpecahan terjadi karena Ukraina menganggap bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet.
Pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan dalam upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan. Dalam perjanjian itu, Rusia diizinkan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea Ukraina, tetapi Rusia harus membayar biaya sewa kepada Ukraina karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol.
Hubungan Rusia dan Ukraina memanas lagi sejak 2014. Kala itu muncul revolusi menentang supremasi Rusia. Massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan bahkan sempat terjadi sebelum berdamai di 2015 dengan kesepakatan Minsk.
Revolusi juga membuka keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan NATO. Ini, mengutip Al-Jazeera, membuat Putin marah karena prospek berdirinya pangkalan NATO di sebelah perbatasannya. Apalagi karena pada saat yang bersamaan semakin eratnya hubungan sejumlah negara Eropa Timur, seperti Polandia dan Balkan, dengan NATO.
Saat Yanukovych jatuh, Rusia menggunakan kekosongan kekuasaan untuk mencaplok Krimea di 2014. Rusia juga mendukung separatis di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk, untuk menentang pemerintah Ukraina.
Mulai Panas sejak Akhir 2021
Isu serangan bergulir sejak November 2021. Sebuah citra satelit menunjukkan penumpukan baru pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina.
Moskow diyakini Barat memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya. Intelijen Barat menyebut Rusia akan menyerang Ukraina.
Desember 2021, pemimpin dunia seperti Presiden AS Joe Biden memperingatkan Rusia tentang sanksi ekonomi Barat jika menyerang Ukraina karena laporan yang semakin intens soal militer di perbatasan. Sejumlah pemimpin Eropa seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga "turun gunung" menginisiasi negosiasi antara keduanya.
Di sisi lain, Rusia juga mulai melakukan latihan militer besar-besaran sejak awal Januari 2022. Semua angkatan laut dikerahkan. Latihan ini juga dilakukan di darat. Rusia bekerja sama dengan Belarusia, tetangga dekat sekaligus sekutunya.
Rusia sempat membantah akan menyerang Ukraina, Bahkan pada 15 Februari, saat konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Moskow, Putin menegaskan akan menarik semua pasukan dari perbatasan karena Rusia tidak menginginkan perang dan siap mencari solusi dengan Barat.
Namun, pada Senin (21/22/2022) Putin tiba-tiba mengumumkan bahwa Donetsk (DPR) dan Luhansk (LRP), dua wilayah kontra pemerintah Ukraina, sebagai negara merdeka. Dengan alasan "menjaga perdamaian", Putin menandatangani dekrit mengirim pasukan ke Ukraina.
Kamis (24/2/2022), pernyataan Putin di depan Olaf tak terealisasi. Serangan benar dilakukan karena Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina demi membela separatis di timur negeri itu. Ledakan kemudian terjadi di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv.
"Keadaan mengharuskan kami untuk mengambil tindakan tegas dan segera," kata Putin dalam pidato yang disiarkan televisi, menurut transkrip RIA-Novosti.
Ia menjelaskan, Donbass (wilayah milisi pro Rusia di Ukraina timur) meminta bantuan kepada Rusia.
"Dalam hal ini, sesuai dengan pasal 51, bagian 7 Piagam PBB, dengan sanksi Dewan Federasi dan sesuai dengan perjanjian persahabatan yang diratifikasi oleh Federal Musyawarah dan gotong royong dengan DPR dan LPR, saya putuskan untuk melakukan operasi militer khusus," katanya.
Mengapa Menyerang Ukraina?
Para ahli percaya Putin melakukan ini untuk tujuan memaksa perubahan di Ukraina. Rusia, ingin kepemimpinan Ukraina diganti menjadi pro Moskow.
"Berdasarkan pidato Putin ... Rusia melancarkan serangan besar di seluruh Ukraina dan bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Kyiv melalui cara militer," kata Direktur Penelitian makro global di Eurasia Group, Henry Rome, seperti dikutip CNBC International.
"Meskipun Putin mengklaim sebaliknya, kemungkinan ini akan mencakup pendudukan beberapa wilayah oleh pasukan Rusia."
Dalam sebuah essai panjang yang dimuat pada Juli 2021, Putin sempat menyebut Rusia dan Ukraina adalah "satu orang".
"Barat telah merusak Ukraina dan menariknya keluar dari orbit Rusia melalui perubahan identitas yang dipaksakan," tulis media tentang tulisan Putin itu.
Dalam pertemuan dengan media di Jakarta pekan lalu, seorang pejabat senior Kedutaan Besar AS mengatakan pelanggaran terang-terangan Rusia terhadap hukum internasional menjadi tantangan langsung terhadap tatanan berbasis aturan internasional. Ukraina sendiri merupakan anggota PBB, yang artinya negara merdeka dan berdaulat.
"Jika Rusia diizinkan untuk membatasi kedaulatan Ukraina dengan mendikte aliansi Ukraina dan pilihan kebijakan luar negeri, dengan memerasnya dan melanggar integritas teritorialnya, itu dapat memberanikan orang lain yang ingin memperluas klaim teritorial ilegal termasuk di Laut China Selatan (LCS)," katanya.
Ia menegaskan, dengan merusak prinsip-prinsip tatanan berbasis aturan internasional, Rusia telah melemahkan fondasi kerja sama internasional dan apa yang dilakukan Rusia itu dapat mengancam perdamaian dan stabilitas di benua Eropa.
Editor : Rohman