Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pembebanan pada APBN hingga lebih dari 50% itu berpotensi peningkatan utang Imdonesia karena beberapa sebab:
1. Ruang fiskal pemerintah yang sangat sempit karena defisit anggaran hanya diperbolehkan di bawah 3%. Belum lagi karena anggaran negara dibagi ke beberapa pos kebutuhan masyarakat di tengah penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi, seperti pemberian insentif bagi pelaku usaha hingga menghadirkan jaminan sosial kepada masyarakat yang terdampak.
2. Skema KPBU yang ditargetkan pemerintah bisa memenuhi 40 hingga 50% kebutuhan pendanaan IKN ia nilai tidak relevan dan sulit tercapai, karena beberapa negara biasanya menggunakan skema tersebut dengan porsi yang tidak lebih dari seperempat dari total dana yang dibutuhkan.
"Yang jadi masalah adalah rata-rata internasional, KPBU itu maksimal 22%. Untuk kasus Indonesia maksimal 7% dari proyek infrastruktur. Kok ini mau menargetkan 46% dari KPBU," kata Bhima, Rabu (26/1/2022), kepada media nasional.
Ia tidak yakin sektor swasta tertarik untuk berinvestasi dalam pembangunan ibu kota baru, karena proyek DKI Nusantara akan didominasi oleh pembangunan gedung-gedung pemerintahan yang tidak memiliki nilai komersial tinggi bagi investor.
Sementara terkait sumber pendanaan dari utang, Bhima menilai pemerintah akan kesulitan mencari sumber utang, baik dari lembaga multilateral maupun kerja sama bilateral.
"Akan susah ya, karena banyak lembaga keuangan itu selektif, seperti Bank Dunia. Mereka akan mempertanyakan soal pengurangan kemiskinan, ini susah dijawab untuk pembangunan ibu kota negara. Kalau secara bilateral, apabila pinjaman yang diberikan tidak komersial dan risiko politiknya tinggi, maka bunga pinjamannya bisa lebih mahal," jelas dia.
Bhima mengaku khawatir bila pembangunan ibu kota baru menggunakan dana utang, stabilitas perekonomian nasional bisa terganggu. Tak hanya itu, ia juga khawatir bila kebijakan itu ditempuh, Indonesia bisa masuk ke dalam debt trap atau jebakan utang.
Debt trap sendiri merupakan istilah di mana sebuah negara terjebak dengan utang yang membesar, namun tidak memiliki kemampuan bayar.
"Kalau sudah terjebak, akan ada negosiasi dengan kreditur. Kalau mereka tidak mau, kreditur bisa dapat penjualan aset negara. Risiko itu sudah terjadi di banyak negara," jelasnya.
Ia menjelaskan, banyak negara yang mengalami debt trap karena utang dari China, seperti Sri Lanka hingga Nigeria, dan ia menduga untuk membangun DKI Nusantara, pemerintah akan berutang ke China.
"Bisa jadi (berutang ke China) ya, karena stand by buyer atau pembeli yang siap membeli utang pemerintah kita tentu adalah China. Karena mereka punya kepentingan geopolitik di Laut China Selatan," jelasnya.
Moral pemerintahan Jokowi akan ambruk
Editor : Rohman