get app
inews
Aa Text
Read Next : Resmi Dipangkas, Kini Jawa Tengah Menjadi Provinsi di Jawa yang Tidak Memiliki Bandara Internasional

Studi: Risiko Kematian Pasien Wanita di Tangan Ahli Bedah Pria Jauh Lebih Tinggi

Minggu, 09 Januari 2022 | 17:37 WIB
header img
Ilustrasi: Ahli bedah mengoperasi pasien. Foto: Sindonews

DEPOK, iNews.id - Sebuah studi terbaru yang dilakukan di Kanada menunjukkan hasil bahwa risiko kematian terhadap pasien wanita yang menjalani operasi oleh dokter bedah pria ternyata lebih tinggi dibanding jika dioperasi oleh dokter bedah dengan jenis kelamin yang sama.  

"Belum ada yang benar-benar tahu mengapa hal itu terjadi, tetapi model baru yang membandingkan jenis kelamin ahli bedah, jenis kelamin pasien, dan hasil operasi kini telah mengungkapkan bias implisit yang dapat merugikan kesehatan dan bahkan nyawa pasien," kata Science Alert berdasarkan hasil studi yang dirilis JAMA Surgery seperti dikutip Minggu (9/1/2022).

Data itu didapatkan berdasarkan penelitian terhadap lebih dari 1,3 juta pasien yang menjalani salah satu dari 21 operasi elektif umum di Ontario, Kanada, antara tahun 2007 hingga 2019.

Secara keseluruhan, analisis menunjukkan bahwa ketika seorang ahli bedah pria merawat pasien wanita, pasien tersebut 16% lebih mungkin mengalami komplikasi, 20% lebih mungkin untuk tinggal di rumah sakit lebih lama, dan 32% lebih mungkin meninggal daripada jika mereka dirawat oleh ahli bedah wanita.

Di sisi lain, pasien pria yang dirawat oleh ahli bedah wanita hanya 2% lebih mungkin mengalami komplikasi, dan 13% lebih kecil kemungkinannya untuk meninggal dibandingkan jika mereka dirawat oleh ahli bedah pria.

Alasan yang mendasari atau alasan perbedaan dalam perawatan ini masih belum jelas, tetapi ini bukan pertama kalinya sebuah penelitian menemukan bahwa jenis kelamin pasien dapat memengaruhi cara dokter mereka memperlakukan mereka.

Pada tahun 2018, pasien wanita di rumah sakit Florida yang menjalani perawatan untuk serangan jantung ditemukan memiliki angka kematian yang lebih tinggi ketika dirawat oleh dokter pria. Sementara dokter wanita memiliki hasil yang lebih konsisten, tidak peduli apakah pasien mereka laki-laki atau perempuan.

Menariknya, ahli bedah laki-laki yang lebih banyak berhubungan dengan dokter perempuan, dan pasien perempuan memiliki hasil yang lebih baik jika ditangani dokter perempuan.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan kalau dokter perempuan meresepkan tes tindak lanjut dan obat-obatan yang berbeda dibandingkan dengan dokter pria, karena dokter perempuan lebih mendengarkan pasiennya. Meski demikian, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan faktor mana yang paling mempengaruhi hasil studi ini, sehingga bias implisit ini dapat mulai diperbaiki.

"Ahli bedah kemungkinan percaya bahwa mereka memberikan kualitas perawatan yang sama kepada pasien, terlepas dari identitasnya. Namun, data ini menggarisbawahi fenomena yang kurang dihargai dan menyoroti dampak bias implisit yang terukur. Metrik hasil ahli bedah berkaitan dengan identitas pasien harus dikembangkan dan dimasukkan ke dalam tinjauan kinerja," kata seorang warga Kanada yang berkomentar setelah diminta membaca makalah yang ditulis oleh ahli bedah Amalia Cochran dan Andrea Riner dari Fakultas Kedokteran Universitas Florida.

Untuk mengatasi bias tersebut, Cochran dan Riner menyarankan agar pakar medis juga dapat lebih terlatih untuk meningkatkan perawatan dan komunikasi mereka dengan pasien, terutama mereka yang memiliki identitas berbeda dari diri mereka sendiri.

Namun, data dari penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa ada kesenjangan gender yang signifikan dalam profesi dokter bedah, karena jumlah ahli bedah pria jauh lebih banyak dari ahli bedah wanita, sehingga banyak pasien tidak pernah bisa membuat pilihan.

Pada tahun 2020, di Kanada hanya ada sekitar 27% ahli bedah umum perempuan, sementara di Amerika Serikat,persentasenya bahkan lebih rendah. Di kedua negara itu, ahli bedah wanita dibayar lebih rendah dibanding ahli bedah pria, dengan persentase perbedaan yang cukup signifikan.

Menanggapi hal itu, warga Kanada yang memberikan komentar juga mengatakan bahwa semestinya pasien wanita yang harus menjalani operasi tidak boleh dirugikan hanya karena kurangnya ahli bedah wanita atau ahli bedah yang kompeten dalam merawat pasien wanita.

"Meskipun datanya kurang, kekhawatiran yang dihadapi oleh pasien wanita yang menjalani operasi mungkin lebih besar untuk pasien yang tidak sesuai gender dan transgender. Kami berutang kepada pasien untuk memberi mereka hasil terbaik, terlepas dari bagaimana identitas mereka dapat disejajarkan dengan kami," katanya.

Editor : Rohman

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut