get app
inews
Aa Text
Read Next : Menteri Hukum: Penetapan UMP 2025 Akan Berlaku Januari Tanpa Menunggu Revisi UU Ketenagakerjaan

PKS Sebut di Tahun 2021 Pemerintah Obral Fasilitas untuk Pemodal dan Pengusaha

Jum'at, 31 Desember 2021 | 21:17 WIB
header img
Presiden PKS Ahmad Syaikhu. Dok: PKS

DEPOK, iNews.id - Ada sejumlah catatan penting yang diungkap DPP PKS dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sepanjang tahun 2021, yang semuanya bermuara pada kebijakan pemerintah, dan juga akibat penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan varian-variannya.

Catatan yang disampaikan pada Pidato Kebangsaan Akhir Tahun 2021 Presiden PKS Ahmad Syaikhu itu, Jumat (30/12/2021) malam, salah satunya menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilai obral fasilitas bagi pemodal dan pengusaha, tapi "mencekik" rakyatnya sendiri.

PKS mengklaim kalau pihaknya telah berjuang demi adanya keadilan bagi rakyat, namun kandas karena hanya bertepuk sebelah tangan.

"Perjalanan bangsa kita sepanjang 2021 juga dihiasi oleh berbagai isu dan keputusan politik yang penting dan krusial bagi hajat hidup masyarakat banyak," kata Syaikhu seperti dikutip dari pidato tersebut, Jumat (31/12/2021).

Partai berbasis Islam ini menjelaskan, pada bulan Oktober-November 2021 ada dua putusan penting yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pertama adalah putusan terkait UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 terkait Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19; dan kedua adalah putusan tentang UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Mahkamah Konstitusi telah mengoreksi aspek materil dari UU Nomor 1 Tahun 2020 terkait hak kekebalan hukum penyelenggara negara selama pandemi. Putusan ini sejalan dengan sikap politik PKS yang menentang hal tersebut. PKS adalah satu-satunya Fraksi yang menolak disahkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020," jelas Syaikhu.

MK juga memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena secara formil UU itu dipaksakan, melanggar prinsip negara hukum dan menabrak nilai-nilai demokrasi.

"Sekali lagi, sikap PKS sejalan dan seirama dengan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Ini membuktikan bahwa konsistensi perjuangan PKS Di DPR RI bersama seluruh elemen masyarakat sipil telah berhasil memperoleh momentum kemenangan secara sah dan konstitusional," lanjut Syaikhu.

Menurut PKS, dua putusan MK tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi Pemerintah.

Di masa mendatang, katanya, dalam setiap penyusunan rancangan undang-undang sudah seharusnya Pemerintah mendengarkan tuntutan dan harapan masyarakat.

"Pemerintah dan DPR RI harus merangkul harapan rakyat. Jangan atas nama investasi asing, hak-hak para pekerja lokal justru dikorbankan. Jangan atas nama kemudahan izin berusaha, masa depan ekosistem lingkungan hidup dipertaruhkan, karena sejatinya seorang presiden, wakil presiden dan setiap anggota Parlemen dipilih dan diberi mandat oleh rakyat untuk menjadi penyambung lidah rakyat, bukan justru menjadi penyambung lidah konglomerat. Pemimpin dan wakil rakyat disumpah untuk taat dan patuh kepada konstitusi, bukan kepada oligarki," tegas Syaikhu lagi.

PKS meminta semua data dan fakta ini dijadikan pelajaran dan bahan refleksi bersama untuk dapat bangkit,  karena para pendiri bangsa telah meletakkan sila ke-5 Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagai pondasi terbangunnya rasa persatuan bangsa.

Tanpa hadirnya rasa keadilan, menurut PKS, maka tak akan tumbuh rasa persatuan dan persaudaraan, dan tanpa adanya rasa persatuan serta persaudaraan,  maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak akan bertahan.

"Kita menyaksikan bersama betapa UU Cipta Kerja terburu-buru disahkan di tengah-tengah kondisi pandemi, hanya untuk kepentingan sekelompok masyarakat. Pemerintah tidak segan-segan menggelar karpet merah fasilitas pajak untuk para pengusaha, mereka berikan potongan pajak korporasi, mereka hapuskan pajak dividen, mereka berikan penghapusan pajak dengan tax amnesty, mereka berikan insentif perpajakan yang meringankan beban keuangan perusahaan mereka dan mereka bebaskan royalti untuk industri batu bara," beber Syaikhu.

Selain itu, lanjut dia, Pemerintah juga enggan menaikan pajak ekspor untuk batubara, padahal itu seharusnya menjadi sumber tambahan yang besar bagi penerimaan negara di tengah defisit keuangan negara yang semakin memburuk.

"Namun di saat yang sama, Pemerintah sangat getol sekali menaikan pajak untuk rakyatnya. Pemerintah menaikan Pajak Pertambahan Nilai. Pemerintah juga memasukan sembako, jasa pendidikan, jasa sosial dan keagamaan sebagai barang dan jasa kena pajak, yang mana ini setiap waktu akan bisa dikenakan pajak oleh Pemerintah. Sungguh ironis!" tegas Syaikhu.

PKS menyebut, kebijakan-kebijakan Pemerintah itu mencerminkan kalau Pemerintah mengobral fasilitas untuk para pemodal dan pengusaha.

"Di tengah-tengah derasnya obral fasilitas Pemerintah untuk para pemodal dan pengusaha, PKS konsisten memperjuangkan agar masyarakat berpenghasilan Rp8 juta ke bawah tidak bayar pajak penghasilan. PKS juga berjuang agar pajak kendaraan roda dua ber cc kecil dibebaskan sebagai bukti keberpihakan pemerintah kepada masyarakat bawah. Sayangnya,  perjuangan PKS bertepuk sebelah tangan dengan Pemerintah. Pemerintah lebih memilih menggelar fasilitas untuk pemodal dibandingkan untuk masyarakat kelas menengah dan bawah," tegasnya.

Seperti diketahui, pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2020 dan UU Nomor 11 Tahun 2020 oleh DPR mengundang polemik, karena UU Nomor 2 Tahun 2020 selain "mengamputasi" hak budgeting DPR karena pemerintah dapat menentukan sendiri anggaran untuk penanganan Covid-19 dengan tanpa dibahas bersama DPR.

Selain itu, UU tersebut juga dinilai membuka peluang bagi pemerintah untuk korupsi karena memberikan kekebalan hukum dalam penggunaan anggaran itu Covid-19, sehingga jika terjadi penyelewengan, tidak dapat dipidanakan.

UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dianggap berpotensi membuat hidup kaum pekerja tambah sulit, karena selain merubah tata cara perhitungan upah minimum, juga berpotensi membuat pekerja berstatus karyawan outsourcing seumur hidup, dan lain-lain.

Produk turunan UU itu, yakni PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, saat ini sedang menuai polemik, karena rumusan upah minimumnya membuat upah minimum 2022 di Indonesia hanya baik 1,09%,  sehingga ditolak kaum buruh di berbagai daerah.

Editor : Rohman

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut