DEPOK, iNews.id - Dalam bahasa Indonesia, kata ustaz bermakna pendidik. Kata ini diserap dari bahasa Arab dan bahasa Persia dari kata, pelafalan dan makna yang sama, yaitu guru atau pengajar. Sementara kata da’i berasal dari bahasa Arab bentuk mudzakar (laki-laki) yang berarti orang yang mengajak, sedang dalam bentuk muanas (perempuan) disebut da’iyah.
BACA JUGA: Mengulik Kontroversi di Seputar Kehidupan Ustaz Yusuf Mansur - 1
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, da’i adalah orang yang pekerjaannya berdakwah atau pendakwah. Melalui kegiatan dakwah, para da’i menyebarluaskan ajaran Islam. Dengan kata lain, da’i adalah orang yang mengajak orang lain, baik secara langsung atau tidak langsung, melalui lisan, tulisan, atau perbuatan, untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau menyebarluaskan ajaran Islam, melakukan upaya perubahan ke arah kondisi yang lebih baik menurut Islam.
Kata "ustaz" selalu menempel di depan nama Yusuf Mansur, dan julukan da'i juga melekat dalam dirinya karena pekerjaan utamanya memang sebagai seorang pendakwah agama Islam, sesuai ajaran yang dianutnya.
Dalam Al Quran surat Al Anbiya ayat 107, Allah SWT berfirman yang artinya: "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam".
Dikutip dari laman Institut Agama Islam Negeri Surakarta karya Dr Ismail Yahya, Islam secara bahasa berarti damai, keamanan, kenyamanan, dan perlindungan. Sedangkan, secara agama, Islam adalah manifestasi dari damai.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, "Seorang Muslim itu adalah orang yang orang-orang Muslim lainnya merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya."
Hadits riwayat Bukhari berbunyi, "Seseorang bertanya kepada Nabi, apakah (amalan-amalan) yang baik di dalam Islam? Nabi menjawab: engkau memberikan makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan kepada orang yang engkau tidak kenal".
BACA JUGA: Momen yang Membuat Hidup Ustadz Yusuf Mansur Berubah dan Dikenal
Selain itu, dalam hadits riwayat An-Nasa'i, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seorang muslim itu adalah orang yang (membuat) orang-orang lainnya merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya, dan orang mukmin adalah orang yang membuat manusia lainnya merasa aman atas darah (jiwa) dan harta mereka."
Dari tiga hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya kedamaian dan keselamatan seluruh umat manusia, dan orang muslim tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur Islam tersebut.
Setiap ustad dan da'i punya cara dan gaya tersendiri dalam menjalankan profesinya, karena hal itu dipengaruhi oleh karakter, kepribadian dan kemampuannya dalam berkomunikasi. Ustad Abdul Somad misalnya, dikenal sebagai ustaz dengan pembawaan yang tenang, namun sangat pandai menyelipkan humor di antara materi yang disampaikannya, sehingga setiap dia memberikan tausiah, jamaahnya selalu saja dibuat terpingkal-pingkal. Sementara Ustad Adi Hidayat selain dikenal sebagai ustad yang memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luar biasa, juga dikenal sebagai ustad yang memiliki kelembutan hati, sehingga terkadang saat memberikan tausiah, dia menitikkan air mata.
BACA JUGA: Ustadz Yusuf Mansur Dapat Hikmah Sedekah Saat Mendekam di Hotel Prodeo
Ustaz Yusuf Mansur juga memiliki cara dan gayanya sendiri saat memberikan tausiah, sehingga dia memiliki jamaah yang sangat banyak, dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Sebenarnya, tak ada masalah dengan cara atau gaya seorang ustaz/da'i dalam menyampaikan materi tausiahnya, karena yang terpenting adalah konten dari tausiah itu haruslah sesuai dengan tujuan dakwah, yakni dapat menuntun jamaahnya pada kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Namun, jika merujuk berita yang dilansir tirto.id pada Juli 2017, diketahui kalau sudah sejak lama materi dakwah yang disampaikan Ustaz Yusuf Mansur disorot banyak kalangan, termasuk oleh Ahmad Satori Ismail yang pada tahun itu masih menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Da'i Indonesia (Ikadi).
Kata dia, Yusuf Mansur memiliki “metode tersendiri” dalam berdakwah, yakni mengacu pada prinsip dan keuntungan bersedekah.
“Saya kira baik. Hanya saja khawatir kalau seorang da'i kemudian banyak tenggelam di dalam masalah bisnis. Dikhawatirkan, kalau da'i kemudian menyatukannya dengan bisnis, dikhawatirkan ada hal-hal yang mungkin kurang pas,” katanya.
Kala itupun Satori tidak mengingkari kalau Yusuf Mansur adalah da'i yang memiliki basis jamaah “cukup kuat” mengenai wacana keislaman dan hafal Al Qur'an, tetapi menurutnya, bisnis memang mengandung risiko karena tak selamanya berjalan mulus.
“Nah, ini bisa menjadi sandungan-sandungan bagi seorang da'i,” tegas Satori.
Metode itu juga pernah dikritik Darso Arief Bakuama, wartawan senior yang menulis sejumlah buku berisi kritikan terhadap metode dakwah Yusuf Mansur, yakni buku berjudul "1001 Dusta Paytren Yusuf Mansur", "Yusuf Mansur Menebar Cerita Fiktif Menjaring Harta Umat", dan "Banyak Orang Bilang: Yusuf Mansur Menipu". Kritik itu muncul karena dalam ceramah-ceramahnya, Yusuf Mansur mengajak jamaahnya untuk bersedekah dengan janji-janji yang bersifat keduniawian, sehingga para jamaahnya rela menyumbangkan harta karena percaya bakal mendapatkan imbalan harta berlipat di kemudian hari.
“Islam mengajarkan sedekah dengan pahala akhirat. Kalau dapat rezeki yang banyak, itu hanyalah bonus yang Allah berikan, itu bukan urusan kita. Yusuf Mansur menjadikan ini sebagai pamrih dunia,” kata Darso kepada Tirto.
Darso mengaku menulis ketiga bukunya dengan cara menganalisis ceramah Yusuf Mansur secara langsung maupun lewat video yang diunggah di YouTube. Dari analisisnya, Darso berkesimpulan bahwa ada pola dalam ceramah-ceramah Yusuf Mansur yang bertujuan untuk mengumpulkan sedekah.
"Itu dalam setiap ceramah dia, memotivasi orang untuk mengeluarkan uang, harta, asetnya untuk diserahkan ke dia dengan judul sedekah," tegas Darso.
Yang mengagetkan, seperti dituangkan dalam bukunya berjudul "Yusuf Mansur Menebar Cerita Fiktif Menjaring Harta Umat", Darso mengungkap kalau untuk tujuan mengumpulkan sedekah tersebut, Yusuf Mansur tak segan-segan membangun cerita-cerita yang menurut dirinya fiktif.
“Sedekah dia bermasalah. Orang yang mengadu ke dia (tentang) masalah kehidupan, dimintanya sedekah. Sampai-sampai ada yang datang bawa mobil, disuruh tinggalin mobilnya. Ada yang bawa motor butut sekalipun diminta motornya,” kata dia.
Darso membeberkan satu contoh kisah yang menurut dia diduga fiktif. Kisah itu disampiakan Yusuf Mansur saat berceramah di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 2 Mei 2013.
Kala itu Yusuf Mansur bercerita bahwa ia bertemu teman perempuannya yang sudah rampung sarjana strata satu di Amerika Serikat dan pascasarjana di Perancis. Perempuan itu kaya raya dan cantik, tetapi mau menikahi seorang laki-laki miskin yang badannya hanya separuh. Alasannya, kata Yuzuf Mansur, karena si perempuan ingin ibadah dan yang dilakukannya itu kehendak Allah.
Mansur lalu mengunggah laki-laki yang badannya separuh itu melalui akun Instagramnya. Darso menemui laki-laki yang bernama Muhammad Wahyono itu, dan Wahyono membantah dilamar oleh wanita cantik, kaya, dan terpelajar seperti yang diceritakan Yusuf Mansur.
“Cerita itu tidak benar. Enggak ada itu. Lha, wong saya tahun ini saja baru 18 tahun. Kalau normal sekalipun saya belum pantas kawin,” kata Wahyono seperti dikutip dalam buku Darso.
Dalam acara yang lain yang bertajuk Kuliah Tauhid bersama Yusuf Mansur di Gedung Islamic Center Bojonegoro pada Senin 9 Juli 2012, Yusuf Mansur bercerita tentang teori The Power of Believe.
Masih menurut Tirto, Mansur mengatakan bahwa teori tersebut dari “Barat", tak jelas teori dari siapa, tetapi kata Yusuf Mansur yang ingin ditekankannya adalah bahwa kita tak perlu bantuan Tuhan dan kerja keras untuk mendapatkan barang impian.
Ia mencontohkan soal motor yang bila kita elus-elus terus tiap hari dengan harapan berubah jadi mobil, motor itu akan berubah jadi mobil. Kisah ini disampaikan untuk meyakinkan jemaah yang hadir dalam acara tersebut bahwa umat muslim bisa mendapatkan lebih dari itu bila mau bersedekah.
Kemudian Yusuf Mansur membeberkan cerita tentang seorang perempuan yang ingin menikah. Si perempuan ini datang sebelum pesta pernikahan, lalu duduk di kursi pelaminan seolah ia yang akan dinikahkan.
Dengan begitu ia akan enteng jodoh. Tentu, katanya, harus dengan diiringi sholat dhuha dan doa bahwa dialah yang berada di pelaminan tersebut. Sebagai pelengkap, si perempuan yang dikisahkan Mansur tersebut mencopot cincin dan gelang, “Rab, ini buatmu, ganti saya dengan jodoh yang saleh,” kata Yusuf Mansur dengan nada yang dibuat dramatis.
Secara ajaib, si keluarga laki-laki tak melihat kedatangan keluarga perempuan. Tiba-tiba terdengar informasi ternyata keluarga perempuan membatalkan, sementara undangan sudah tersebar.
Diumumkanlah di masjid tersebut, bagi siapa yang belum menikah, dipersilakan maju untuk dinikahkan.
“Demi Allah, cerita semacam ini banyak,” kata Mansur bersemangat. “Saya enggak mau bohong, Pak, Bu. Banyak sekali. Oh, benar, Pak. Saya enggak mau bohong urusan begini. Setidak-tidaknya teman saya pribadi, (ada) dua yang begini, kejatuhan semangka banget!
“Tinggal masuk, semua sudah jadi, sudah disewain segala macam. Subhanallah. Bahkan salah satu pasangan yang seperti itu barusan berangkat umrah bersama saya. Dia sudah punya anak 3,” terang Yusuf Mansur.
Cerita itu tak terdengar rancu karena disampaikan secara lisan dan diiringi sumpah Yusuf Mansur untuk meyakinkan pendengarnya, tetapi bila kita agak kritis, ada sejumlah bolong dalam cerita itu.
Misalnya, di tempat mana si perempuan itu harus berdoa: di lokasi pernikahan atau di masjid? Kedua, soal latar cerita: kejadiannya di mana? Hal begitu agaknya tidak membuat jamaah Yusuf Mansur meragukan. Jamaahnya terbuai. Tak lama, seorang perempuan maju. Perempuan itu memberikan cincinnya dan minta dirinya didoakan agar anaknya menjadi pribadi yang soleh. Sambil memberikan cincin, si perempuan itu bercerita anaknya bekerja di Pontianak. Perempuan itu mengambil uang Rp500 ribu lalu menyerahkan kepada Mansur. Mansur berkata, “Ayo, Ibu-ibu, siap-siap. Bapak-bapak, siap-siap. Sudah dibawa, kan?”
Setelah itu ada sebentuk ancaman atau memojokkan jemaah. “Yang punya cincin, gelang, dan belum tergerak buat disedekahin, saya bilang, 'Enggak usah.' Tapi nanti Asar, lihatin lagi tangannya, cincin itu tetap segitu, kalung itu tetap segitu? Itulah yang terjadi gara-gara kita tidak sedekahin, 10 tahun lagi pun segitu?” kata Yusuf Mansur.
Ia melanjutkan, “Tapi kalau kita sedekahin—masya Allah—Asar nanti lihat, pasti enggak ada karena sudah disedekahin. Tapi 2, 3, 4 tahun kemudian, saudara beli berapa gram pun bisa. Sebab cabang soto-nya sudah 20 cabang, punya laundry sudah 17 cabang, punya showroom motor sudah 3-4 cabang. Subhanallah!”
Acara itu diselenggarakan Program Pembibitan Penghafal Al-Qur'an (PPPA) Darul Qu'ran Bojonegoro bekerjasama dengan PPPA Darul Qur'an Surabaya dan Toko Buku Togamas Bojonegoro. Usai Mansur dan panitia menutup acara itu, tiada penjelasan berapa total uang dan barang berharga yang diserahkan jamaah dan digunakan untuk apa “sedekah” tersebut.
Bukan hanya Darso yang mengeritik metode dakwah Yusuf Mansur melalui buku, wartawan senior Heri Muhammad Yusuf juga demikian. Dia menulis buku berjudul "Yusuf Mansur Obong".
Dalam buku itu, Heri mengeritik khutbah-khutbah Yusuf yang dinilainya hanya menyeru pada urusan duniawi yang ujung-ujungnya bermasalah. Di antaranya proyek batu bara di Kalimantan Selatan, patungan usaha kondominium-hotel Condotel Moya Vidi, dan nabung tanah.
“Dan masih banyak lagi nama dan judul yang semuanya berakhir dengan ketidakjelasan. Satu kasus belum selesai, muncul kasus lain. Begitu seterusnya. Tentu saja perilaku tersebut tidak bisa dibiarkan karena sudah menyangkut wanprestasi dan masuk ke ranah hukum,” tulis Heri yang mantan wartawan Majalah Gatra itu seperti dikutip dari solopos.com, Kamis (30/12/2021).
Atas penerbitan buku-buku itu, Yusuf Mansur mengatakan bahwa dia akan melaporkan orang-orang yang dianggapnya telah menebar fitnah terhadap dirinya itu.
“Nah, yang gini-gini ini harus dilaporin. Kami sedang yasinan 40 hari, semua pondok pesantren dan rumah tahfiz. Bahkan yang di Hongkong dan Gaza. Ini yasinan untuk menentukan. Semua yang punya narasi pidana sudah diarsip dan diprofiling, baik akun Tiktok, Youtube dan lain-lain. Apalagi yang sudah bikin buku, bisa langsung dihajar itu sama tim hukum kami,” katanya.
Namun, Darso dan Heri tak gentar pada ancaman Yusuf Mansur, karena katanya, apa yang mereka tulis selain didasarkan pada hasil analisa atas ceramah-ceramah Yusuf Mansur, juga berdasarkan hasil wawancara dengan orang-orang yang mengaku menjadi korban investasi yang digalang Yusuf Mansur.
“Ancaman itu sejak Maret 2020. Dari dulu rencananya, tapi tidak terjadi,” jawab Heri melalui Whatsapp kepada solopos.com, Senin (27/12/2021).
Bila Anda ingin menonton video-video yang terkait dengan kasus Ustaz Yusuf Mansur, Anda dapat menyaksikannya di akun Youtube Thayyibah Channel.
Editor : Rohman