Ajaran agama Islam meyakini bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Karena itu pelaksanaan ziarah kubur dimaksudkan sebagai sarana instropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.
Umumnya, pelaksanaan tradisi nyadran dengan membaca doa dan ayat-ayat yang ada di Alquran. Selanjutnya, tahlillan yang di tengah lingkaran terdapat kenduri dan sesajinya.
Tahap terakhir tabur bunga dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng dan makan bersama.
Berdasarkan Schrieke seperti dikutip Koentjaraningrat dalam buku "Kebudayaan Jawa", bahwa budaya tradisi Nyadran ini ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, yakni campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Buddha dan Islam.
Sinkretistik tersebut tampak ketika acara tahlilan dimulai pada sholawat mengalunkan tembang-tembang berbahasa Arab – Jawa. Di samping juga tampak pada perlengkapan kenduri yang dibawa oleh masing-masing anggota keluarga yang memiliki leluhur.
Ada juga yang membakar kemenyan atau dupa agar bau harum dari kemenyan dan dupa tersebut bisa mengingat keharuman atau perbuatan baiknya ketika leluhur hidup di dunia ini.
Sementara dalam "Upaya Mempertahankan Tradisi Nyadran di Tengah Arus Modernisasi", Muhammad Arifin dkk menyebut tradisi nyadran mengandung nilai-nilai yang baik bagi kelangsungan hidup bermasyarakat.
Salah satunya, tradisi nyadran ini mengajarkan kita untuk menghargai jasa-jasa dan menghormati para leluhur yang telah tiada dengan mendoakan agar memperoleh ketenangan di alamnya.
Tradisi nyadran juga mengajarkan untuk mensyukuri nikmat yang telah diperoleh dan mengajarkan kita untuk berbagi antar sesama. Hal ini terlihat dari makanan-makanan yang dibagikan ke masyarakat seperti nasi tumpeng, ayam ingkung dan lain-lain.
Editor : Kartika Indah Kusumawardhani